Minggu, 17 Oktober 2010

CERITA LUPUS KECIL : Membantu Lulu Makan



­SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.

Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.

Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.

“Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!” begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.

“Sa... saya abis belajar bersama, Bu,” ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.

“Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!”

“Belajar main bola, Bu.”

“Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang.”

“Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu.”

“Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?”

“Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah....” 

“Sudah. Ayo pulang!” hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.

Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.

Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.

Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.

Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.

Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. ­Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.

Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.

Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.

“Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu,” ujar Ibu tersenyum.

Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.

Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.

“Lulu, kamu sudah makan, belum?”

Dengan santai Lulu menggeleng.

“Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?” desak Ibu.

­ “Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun,” bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.

Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.

“Ah, Lupus.... Lupus...,” desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.

cerita lupus kecil



ULANG TAHUN




ADA seorang teman Lupus. Namanya Pepno SH. Anaknya masih kecil. Sekecil Lupus. Badannya rada kurus. Berkulit hitam, dan berambut agak ikal. Kalau habis berlari-larian ujung hidungnya suka berkeringat. Seperti embun di pagi hari.

Lupus sering bermain-main dengan dia.

Seperti juga kamu, Lupus pertama heran. Kenapa si Pepno ini kecil-kecil sudah punya gelar SH? Nggak taunya itu nama bapaknya: Simin Harjo, yang biasa disingkat SH. Hihihi... lucu, ya?

Nah, sore tadi si Pepno berlarian datang ke arah Lupus yang tengah bersiap-siap pergi mengaji. Ia berbisik, “Pus, besok datang ke rumahku, ya? Aku ulang tahun. Eh, tapi jangan lupa bawa kado dong. Biar balik modal.“

“Ulang tahun?” Lupus bertanya heran. “Ulang tahun apa?”

­Ih, Lupus norak, ya? Masa ulang tahun aja nggak tau?

Tapi kalian memang mesti maklum kalau ternyata memang ada anak yang belum tau apa itu ulang tahun. Karena di sebagian keluarga, ada. yang menganggap kalau ulang tahun itu tak perlu dirayakan. Apalagi kalau orang tuanya pelit, seperti bapaknya, si Lupus. Merayakan ulang tahun dianggap pemborosan saja, katanya. Makanya, Lupus nggak apa itu ulang tahun.

Mata Pepno yang bulat dan lucu itu menyipit.

“Ulang tahun apa? Ya ulang tahun saya.” Pepno ternyata bingung juga menjawab pertanyaan Lupus.

“Ulang tahun itu apa?” Lupus masih belum mengerti juga. “Ulang tahun itu adalah tahun yang diulang,” ujar Pepno setengah ragu. Ya, habis bagaimana dia harus menjelaskan. “Kata mama saya, setiap tanggal 21 April itu ulang tahun saya.”

“Lha? Kenapa harus tanggal 21 April?” tanya Lupus. “Tidak tanggal 10 Nopemnber atau 32 Januari saja?”

“Tau tuh. Mama sukanya tanggal 21 April sih. Gitu aja, Pus. Jangan lupa besok sore. Dadaaah. ...”

“Eh, tapi dijemput, ya?”

­***

­Pulang mengaji, Lupus mendapatkan ibunya sedang asyik mengobrol dengan Tante Ani, tetangga sebelah. Menjelang magrib, kala urusan rumah tangga sudah diselesaikan semua, ibu Lupus sering duduk-duduk di taman mengobrol dengan tetangga sambil minum teh. Bapak sih jarang ikutan nimbrung. Kerjaannya sepulang­ kantor tidur melulu.

“Dulu, anak saya si Lulu, suka sekali mengisap jempolnya, Jeng. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ucap ibu Lupus sambil menuangkan teh buat Tante Ani. Lupus yang bandel, sempat juga menguping dari balik pohon asoka.

“O ya? Bagaimana cara mengatasinya, Jeng?”

“Mudah saja, Jeng. Jempolnya, suka saya beri yang pahit-pahit. Jamu, misalnya.”

“Lalu, setelah itu bagaimana reaksinya, Jeng?”

“Sekarang, ia mengisapi jari kelingkingnya.“

Hihihi... Lupus tak bisa menahan ketawanya. Ini jelas membuat ibu Lupus berang. “Hayo, Lupus! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan suka mencuri dengar pembicaraan orang tua!”

­Lupus keluar sambil tertawa-tawa kecil.

Dan dia segera bilang ke ibunya bahwa besok ia diundang ke. Ulang tahun Pepno.

“Ulang tahun yang keberapa?” tanya Ibu.

Wah, keberapa, ya? Lupus bingung. Soalnya dia tak tanya tadi. “Eeeng... suit sepentin kali, Bu!”

Ah, Masa sweet seventeen? Ibunya tak percaya. Ibunya berkata, kalau tak salah Pepno lahir berbarengan dengan pohon pisang yang ditanam Bapak di kebun belakang.

“Wah, jadi si Pepno ­udah tua dong, Bu,” ujar Lupus heran. Ya, karena pohon pisang yang dimaksud Ibu itu sudah reot. Pelepah pisangnya sudah berwarna cokelat. Disentil juga roboh.

“Pepno lain dong dengan pohon pisang. Pohon pisang memang cepat besar dan tua. Tapi Pepno kan tidak,” jelas ibunya.

“Oo... mungkin karena Pepno jarang disiram dan diberi pupuk ya, Bu?” simpul Lupus.

Yah, mungkin sekarang Pepno umurnya sama dengan Lupus. Tujuh tahun. Sekarang, Lupus pun mengira-ngira, kado apa yang cocok buat Pepno.

“Eh, gimana, Bu, kalo beli buku tulis saja buat kadonya Pepno?” usul Lupus.

“Ah, jangan. itu terlalu murah. Lebih baik potlot aja!”

­Tapi ternyata Pepno tidak cuma mengundang Lupus. Lulu pun sudah diberi tahu. Pepno juga berpesan agar Lulu membawa kado.

Lulu mengusulkan agar Pepno diberi boneka saja.

Lupus jelas menolak. “Pepno kan anak laki-laki. Masa mau dia diberi boneka?”

“Kalo dia nggak mau, kan bica buat Lulu aja. “

Pertengkaran Lupus dan Lulu sebetulnya bakalan seru. Tapi Ibu buru-buru melerai. Ibu cuma mau membelikan satu kado saja. Dan akhirnya diputuskan, Pepno akan dibelikan pistol-pistolan air saja

­***

­Sorenya pistol-pistolan air yang cukup unik itu siap dibungkus. Sebelum dilapisi kertas kado yang cantik, Ibu membungkusnya dengan beberapa kertas koran.

“Kenapa mesti begitu, Bu?” tanya Lupus.

“Biar kelihatan besar. Nanti kan Pepnonya senang.”

Pistol-pistolan air itu memang jadi kelihatan besar sekarang. Apalagi setelah dibungkus kertas kado yang bermotifkan warna-warni. ­Jadi kelihatan tambah cantik. Wah, si Pepno pasti senang.

Tapi, astaga! Pistol-pistolan ini belum dicoba. Lupus cemas. Ya, bagaimana kalau ternyata pistol-pistolan air ini macet? Bisa malu dong. Kok ngasih hadiah nggak bisa dipakai?

Maka diam-diam Lupus pun membuka kado yang udah terbungkus rapi itu. Gulungan koran yang membuatnya gemuk, kini berserakan di lantai. Lupus tak peduli. Yang penting pistol ini mesti dicoba dulu.

Setelah dibuka, pistol air itu diisi air. Dan ditembakkan ke arah pot-pot bunga. Kadang-kadang, rambutnya pun dibasahi oleh pistol-pistolannya itu. Lupus senang, berarti pistol mainan ini tidak macet.

Lagi asyik-a­yiknya mencoba, Ibu datang. Ibu habis membeli pita. Untuk kado dan untuk rambutnya Lulu. Biar kedua-duanya cantik.

Jelas saja Ibu ngomel melihat ulah Lupus.

“Aduh, Lupus. Kenapa kadonya dibuka begitu?”

“Habis tadi belum dicoba, Bu. Lupus khawatir kalo pistol-pistolan ini macet.”

Ibu akhirnya membungkus kado itu lagi. Cuma kali ini ditambahi pita biar cantik.

­Kado ini ternyata tidak mau kalah saingan sama rambut Lulu yang senantiasa berpita. Lupus pun ikut-ikutan meminta dipakaikan pita. Tapi Ibu melarang. Lupus nekat. Ia mengambil kaset dan mengeluarkan pitanya yang panjang. Kemudian digulungkan ke rambutnya. Lupus ternyata juga tak mau kalah saingan.

“Hihihi... pitaku lebih panjang!”

­***

­Sore itu di rumah Pepno sudah ramai. Banyak juga temannya yang datang. Pepno memang mengundang semua teman-teman mainnya.

Rumahnya sendiri tampak semarak. Dihiasi balon-balon, kel tas Warna-warni, dan juga kue tart besar berlilin tujuh yang begitu menarik perhatian Lupus.

Pepno memakai baju baru. Warnanya merah, dan dimasukkan ke dalam celana panjangnya yang juga baru. Pepno jadi kelihatan ganteng. Kayak sekoteng.

Tapi perhatian Lupus tetap tak lepas dari kue tart besar yang dilapisi cokelat itu. Oi, pasti enak sekali rasanya. Lebih enak dari kue bikinan Ibu. Ah, mudah-mudahan saja kue itu tidak hanya sekadar buat pajangan.

­Selanjutnya acara dibuka dengan nyanyi-nyanyi bersama. Sambil bertepuk tangan meriah. Kadang anak-anak bernyanyi saling adu cepat. Mungkin dengan harapan yang duluan selesai nyanyi bakal segera mendapat potongan kue tartt.

Kemudian disusul dengan acara-acara menarik. Di antaranya seperti mengoper gelas yang diisi air, sambil diiringi musik. Bila gelas itu berada di t1ngan seorang anak dan bersamaan dengan matinya musik, berarti anak tadi mendapat hukuman. Boleh nyanyi, boleh baca puisi. Boleh juga berjoget sepuas hati.

Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali. Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya.

Anak-anak pada terheran-heran.

Lupus pun terpaksa dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.

Tanpa ragu, Lupus pun membacakan puisi karyanya sendiri,

­“di laut sudah pasti ada iar

di air belum tentu ada laut

di rumah sudah pasti ada pintu

di pintu belum tentu ada rumah

di meja sudah pasti ada sepotong kue

dan kuenya belum tentu dipotong...”

­Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus pun tiba, Pepno memolong, kue tart jadi beberapa bagian. Potongan pertama untuk maminya, kedua untuk papinya, ketiga untuk adiknya, keempat untuk kakaknya, kelima untuk neneknya, keenam untuk kakeknya....

“Lha, untuk saya mana, ya?” pikir Lupus cemas.

Lupus khawatir kalau-kalau kue itu memang buat keluarga Pepno saja. Wah, bisa gawat nih! Lupus sebel, kenapa tuan rumah kadang cuma menyediakan kue yang mahal-mahal untuk pajangan ­aja? Bukan untuk dibagikan pada tamunya.

Tapi ternyata dugaan Lupus meleset. Kue tart itu juga dibagikan kepada teman-teman yang lain. Tentu termasuk Lupus. Lupus mendapat bagian yang lebih besar. Karena baca puisinya bagus. Lupus sangat girang sekali. Dia memakan sedikit demi sedikit. “Biar enaknya lama.”

­Tapi kapan ya, bisa makan kue enak lagi? Lupus pun merenungi. Hingga kemudian dia bangkit menghampiri maminya Pepno dan membisiki, “Tante, bagaimana kalo ulang tahunnya Pepno tiap seminggu sekali aja, Tante?”

­

5 Ke Sekolah

­PAGI-PAGI sekali Lupus sudah bangun. Maklum, kalau tidak bangun pagi-pagi, dia bisa terlambat pergi ke sekolah. Dan kalau sampai terlambat ke sekolah, Lupus bisa kena setrap. Kalau sampai kena setrap, Lupus bisa disuruh berdiri di pojokan kelas sepanjang pagi. Kalau sampai disuruh berdiri di pojokan kelas, Lupus bisa malu. Kalau sampai malu... ah, makanya, Lupus lebih baik tidak terlambat ke sekolah.

Tapi sebetulnya, Lupus masih suka dibangunkan ibunya daripada bangun sendiri. Pernah sesekali Lupus berpesan pada ibunya agar jangan dibangunkan. Akibatnya Lupus baru bangun ketika jam dinding di rumahnya berdentang sembilan kali. Makanya Lupus hingga sekarang lebih suka dibangunkan saja. Lupus sendiri heran, kenapa dia susah bangun pagi. Padahal menurutnya, dia tidak pernah tidur terlalu larut. Paling-paling jam sembilan dia sudah masuk kamar. Cuma, ya di kamar dia suka keasyikan baca buku cerita hingga larut malam.

Kegiatan Lupus setiap pagi selain bangun tidur, biasanya ngulet-ngulet sedikit. Tau ngulet, kan? itu lho, senam gaya ulet. Ya, habis senamnya kan di tempat tidur. Lupus kadang juga suka lari pagi. Berkeliling-keliling kompleks perumahan sebanyak satu kali. Larinya kadang-kadang pelan, kadang-kadang cepat Lupus suka lari cepat kalau kebetulan dikejar sama anjing tetangga yang galak. Setelah lari pagi, biasanya Lupus mandi. Tak lupa sikat gigi, kalau kebetulan ditunggui Ibu. Habis itu handukan. Yah, terpaksa handukan ini diharuskan jadi kebiasaan. Karena Lupus setelah mandi suka lupa handukan. Masih basah kuyup, langsung pakai baju seragam. Kan jadi basah semua, ya, bajunya. Setelah urusan mandi selesai, Lupus sarapan. Untuk sarapan ini tak biasa makan nasi. Tapi cukup lontong sayur saja. Tapi kadang-kadang, dia juga makan roti.

Sehabis makan roti, biasanya masih ada sedikit waktu untuk sekadar mengobrol dengan adiknya Lulu, atau dengan ibunya yang sedang mengolesi roti buat Bapak di meja makan.

“Bu, semalam Lupus mimpi dikejar-kejar raksasa. Uh, tegang deh. Lupus lari sekuat-kuatnya,” celoteh Lupus seru.

Ibunya memandang sebentar. Lalu dengan pelan berujar, “O, pantas kasurmu basah semua. Mungkin itu cucuran keringatmu, ya, Pus,” sindir ibunya menahan tawa.

Lulu sudah cekikikan saja di ujung meja. Ih, ketauan. Lupus pasti ngompol. Lupus memang paling bisa berdalih kalau dia ketauan ngompol. .

Tapi Lupus pura-pura tak mendengar sindiran ibunya. Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Eh, tapi kemarin Lupus di sekolah dapat hapusan potlot. Bagus deh, Bu. Bentuknya seperti mobil-mobilan. Wangi lagi....”

­ “Ah, kamu dapat nyuri, ya?” sergah ibunya ketika Lupus menunjukkan penghapus barunya.

“Enggak, Bu.”

“Kamu dapat dari mana?”

“Dapat nemu di tempat pinsilnya Pepno yang sedang terbuka, Bu. Bagus, ya?”

Dan Lupus pun langsung melompat turun dari kursinya ketika ada suara teman memanggil.

“Lupus berangkat, Bu, Pak. Sampai ketemu nanti siang, ya?”

“Lupuuuus, penghapus itu...”

Ibunya berusaha menahan, tapi Lupus sudah berlarian menyambut teman-temannya.

***

­Si Pepno, teman Lupus yang baru berulang tahun itu, kebetulan juga sekelas dengan Lupus. Tapi herannya, tiap hari Pepno selalu terlambat tiba di sekolah. Sampai guru-guru sudah bosan menghukumnya.

Lupus suka heran. Apa di rumahnya Pepno sulit dibangunkan kalau pagi hari? Kalau memang sulit, Lupus punya cara yang tepat untuk membangunkan anak nakal di pagi hari. Banjur saja dengan seember air dingin. Atau kalau cara itu dirasakan repot, karena akan membuat kasur basah, getok aja kepala si anak itu dengan batu bata. Wah, pasti dia akan lekas bangun.

Ah, tapi mungkin saja maminya Pepno tidak sampai hati melakukan itu. Karena Pepno memang agak disayang. Jadi mana mungkin maminya mau membangunkan dengan cara itu.

Jadi harus dicarikan cara lain. Misalnya dengan ­memasang jam weker tepat pukul enam pagi.

“Tapi, sebetulnya kenapa sih kamu suka terlambat?” tanya Lupus penasaran.

“Sebetulnya bukan salah saya, Pus,” ujar Pepno. “Yang salah gurunya.”

“Lho, kok gurunya?”

“Abis mereka datang terlalu cepat sih....”

Lupus bengong. Ah, masa iya?

Iya, kata Pepno. Dan Lupus tak percaya. Sama seperti tak percayanya Lupus pada cerita-cerita Pepno yang lainnya. Kalau duduk sebangku di kelas, Pepno memang suka cerita macam-macam. Tentang kucingnya yang katanya bisa menghilang, tentang kelincinya yang bisa berbicara.

Tapi Lupus tak pernah percaya.

Pagi ini pun, nampaknya Pepno mulai mau bercerita lagi.

­ “Pus, semalam aku ditinggal di rumah sendirian. Habis, Papi sama Mami pergi ke dokter mengantar adikku. Aku nggak takut, Pus. “

“Ah, aku tak percaya, Pep,” ujar Lupus seperti biasanya.

Pepno mulai sibuk meyakinkan. “ Aku betul-betul sendirian di rumah, Puso Hanya bibiku saja di dapur, Mang Iip di ruang tamu, Mbok Minang di serambi, dan kakekku di kamar. Aku lunya sendirian nonton tipi, Pus.... “

Lupus cekikikan.

Dan di samping Pepno, Lupus juga punya temen yang lucu. Namanya Uwi. Kata Lupus, Uwi ini mukanya kayak belalang. Panjang dan lancip. Tapi Uwi bilang, Lupus kayak marmut. Gemar merengut. Kalau sudah main ledek-ledekan begitu, Lupus dan Uwi cuma ketawa bareng.

Lupus suka Uwi, karena anak perempuan nakal ini sebenarnya cerdas. Paling asyik diajak main tebak-tebakan. Waktu ulang tahun Pepno, Uwi ngasih kado pulpen mungil satu biji yang dilapisi berlapis-lapis koran hingga kadonya kelihatan besar. Di dalamnya, ada juga batu kerikil, biar agak berat.

Pepno sampai frustasi waktu buka kado Uwi. Dikira di dalamnya ada robot-robotan, ­“atau pesawat tempur, nggak taunya cuma pulpen yang mungil.

Di dalam kadonya, ada sederetan kalimat ucapan ulang tahun buat Pepno, disertai kata mutiara yang lucu. “Jangan memandang keikhlasannya, tapi pandanglah. .. harganya.”

Lupus sampai terpingkal-pingkal ketika diceritai.

Ketika turun main, Lupus sering asyik belajar bersama Uwi. Biasanya jadi sembarangan, karena kedua anak itu memang ajaib. Biasanya Uwi yang membacakan dari buku, sambil memandangi buku bergambar. Sedang Lupus asyik memasukkan roti bekal Uwi ke dalam mulutnya hingga habis tak bersisa.

“Ikan bernapas dengan apanya, Pus?” ujar Dwi.

Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab, “Dengan insang.”

“Ya, betul. Kalo ular, Pus?”

“Ular? N­g... dengan kulitnya!”

“Seratus! Kalau gajah bernapas dengan...?”

“Hidungnya!”

“Salah!”

“Kupingnya!”

“Salah!”

Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa?” tanyanya sambil memandang ke arah Uwi.

“Gajah bernapas dengan... teman-temannya!” ujar Dwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi... iya, kan? Mereka selalu bergerombol. “

Lupus keki. Lalu sambil menutup kotak tempat kue Uwi yang sudah kosong, dia berkata, “Kalau kodok bernapas dengan...?”

“Dengan paru-paru!” jawab Uwi.

“Salah, Wi. Kodok bernapas dengan... izin Tuhan. Hihihi.”

Pepno pun datang meramaikan suasana.

“Bulu apa yang bisa marah?” kata Pepno.

­“Bu Lurah,” jawab Dwi.

“Bulu apa yang bisa nangkis?”

“Bulu tangkis.”

“Bulu apa yang paling jelek?”

“Bulu ketek.”

“Bulu apa yang paling jauh?”

“Bulu roma... ibu kota Itali.”

“Bulu... ng, apa lagi, ya?” Pepno berpikir.

“Ini, Pep,” celetuk Lupus, “bulu apa yang mirip kamu, Pep?”

“Apa, ya?”

“Bulukan. Hihihi....”

Bel masuk pun berdentang lantang. Kelontang-kelonteng.

­

6. Membantu Lulu Makan

­SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.

Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.

Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.

“Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!” begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.

“Sa... saya abis belajar bersama, Bu,” ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.

“Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!”

“Belajar main bola, Bu.”

“Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang.”

“Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu.”

“Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?”

“Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah....”

“Sudah. Ayo pulang!” hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.

Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.

Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.

Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.

Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.

Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. ­Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.

Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.

Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.

“Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu,” ujar Ibu tersenyum.

Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.

Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.

“Lulu, kamu sudah makan, belum?”

Dengan santai Lulu menggeleng.

“Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?” desak Ibu.

­ “Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun,” bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.

Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.

“Ah, Lupus.... Lupus...,” desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.



7. Ke Toko

­LULU besok ulang tahun. Baru yang keenam. Tapi ­ulu ingin hari jadinya itu dirayakan, seperti ulang tahunnya Pepno. Sebetulnya, Bapak memang kurang setuju. Karena dengan begitu, Bapak harus mencari uang tambahan untuk pesta ulang tahun Lulu. Tapi Lulu memaksa, didukung sepenuhnya oleh Lupus, yang berharap bisa makan kue tart enak lagi. Dan bagi Bapak, perang melawan dua anaknya yang bandel-bandel itu lebih mengerikan daripada perang melawan kantuk. Anak itu kompak berdemonstrasi ribut-ribut tiap sore, sehingga Bapak tak dapat lagi tenang-tenang membaca koran.

Maka, terpaksalah Bapak mengabulkan permintaan Lulu. Yah, sekali-sekali boleh dong ulang tahun itu dirayakan. Dan untuk itu, ibu Lupus mesti pergi ke toko membeli kue-kue dan kado buat Lulu.

Tiap ulang tahun, orang-orang yang berada atau datang ke rumah Lulu, selalu dimintai kado. Kalo ternyata karena sesuatu hal si orang itu tak bawa kado, maka dianggap utang. Di lain waktu, walau sudah lewat sebulan, Lulu masih rajin menagih. Makanya daripada repot-repot mendengar rengekan Lulu, Ibu lebih baik membeli kado saja.

Karena Lupus juga sejak kemarin dipaksa Lulu untuk beli kado, maka Ibu pun mengajak Lupus pergi ke toko. Tokonya cukup jauh dari rumah. Lupus, harus naik. bis kota segala. Jalan juga bisa, tapi lama. Kira-kira dua hari baru sampai. Maka itu lebih baik naik bis kota saja. Lagi pula bis kota itu murah meriah kok. Bayarnya murah dan isinya meriah. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, pokoknya macam-macam deh. Kamu tinggal pilih, mau yang mana.

Dan Lupus itu paling suka kalo diajak naik bis kota. Dia selalu pilih dekat jendela. Biar bisa melihat pemandangan dan bisa ber-dada-dada, melambaikan tangan.

Makanya Lupus langsung sibuk berdandan ketika Ibu mengajaknya pergi ke toko. Hatinya girang sekali. Sambil bersiul-siul riang, dia memakai sepatu, kemeja, dan tak lupa jam tangan mungilnya. Tapi rambutnya tak mau disisir. Biar bisa kena angin dari jendela bis kota. Kan sayang kalau disisir, jadi mubazir pikirnya.

­Tapi sayang, bis yang ditumpangi Lupus itu penuh sesak. Jadinya tak bisa leluasa memilih tempat duduk di dekat jendela. Lupus menyesal, kenapa tadi tidak membawa jendela dari rumah saja, ya? Biar penuh kan bisa tetap dekat jendela. Bisa angin-anginan.

Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Lupus masih diliputi penyesalan. Tapi segera hilang ketika di depannya terlihat keramaian yang amat sangat. Ada anak kecil tujuh orang bergandengan tangan, ada penjual obat yang ribut menawarkan dagangannya, ada tukang rokok yang mondar-mandir ke sana kemari, atau puluhan kemeja yang tergantung, bergoyang-goyang ditiup angin. Ya, toko itu memang berada di pusat kota. Selain ada toko yang menjual kue-kue, ada juga yang menjual baju, celana, mobil-mobilan, motor-motoran, anak-anakan, ibu-ibuan, bapak-bapakan....

Ibu sambil menggandeng lengan Lupus, menuju toko yang menjual kue-kue. Tapi sebelumnya, Ibu sempat tertarik pada penjual jepit jemuran di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima itu adalah pedagang yang kakinya li... eh, dua. Tapi barang dagangannya cukup digelar begitu saja. Tanpa diselimuti. Kasihan ya, kan nanti bisa masuk angin. Kalau sudah masuk angin, baru deh si pedagang itu sibuk mengeroki barang dagangannya. Sebab walau bagaimanapun juga, barang dagangan yang sakit kan tak bisa dijual.

Nah, Ibu sekarang sedang tertarik dengan penjepit jemuran tersebut. Ibu berniat membeli beberapa buah, supaya kalau lagi menjemur pakaian, tidak perlu lagi bersibuk-sibuk-ria mengejar jemurannya. Sebab sering ada angin nakal yang bertiup kencang dan membawa terbang jemuran Ibu yang sudah kering. Pakaian memang biasa dijemur Ibu di lapangan bulu tangkis di samping rumah. Sehingga Lupus yang hobi main bulu tangkis, pernah dengan kesal berkata kepada temannya, si Pepno, “Kamu pikir, Pep, apa kegunaannya Bapak membangun lapangan bulu tangkis di halaman samping rumah?”

“Memangnya apa? Untuk main bulu tangkis, kan?”

“Bukan. Untuk Ibu menjemur kasur secara massal!”

Dan Ibu kalo membeli sesuatu tak pernah menawar. Cuma menyarankan agar barang itu dijual murah saja. Seperti dengan penjual jepit jemuran itu. Harganya seribu rupiah, tapi disarankan agar dijual tiga ratus saja. Penjualnya tak mau. Ibu pun tak mau juga. Tapi ketika disarankan lima ratus, baru ada kesepakatan. Kemudian Ibu pun membayar, setelah sebelumnya tak lupa mereka berjabatan tangan atas kesepakatan yang telah diambil.

Selanjutnya Ibu terburu-buru melanjutkan perjalanan, yaitu ke toko kue. Tapi ­apa yang terjadi? Ibu Lupus berpikir, sepertinya ada yang ketinggalan. Tapi apa, ya? Ibu kebingungan setengah mati. Seluruh isi tasnya diperiksa. Dompetnya ada, sapu tangan ada, sisir juga ada. Lalu di depan etalase kaca, Ibu berkaca. Diamati seluruh tubuhnya. Dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Semua komplet. Tak kurang suatu apa pun. Lantas, apa yang ketinggalan?

Seorang satpam yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Ibu, akhirnya datang menghampiri. “Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Apa Ibu kecurian?”

“Oh, selamat siang. Tidak-saya tidak kecurian. Tapi bisakah Bapak membantu saya?”

“Dengan senang hati, Bu. Nah, ada apa?”

“Saya mau tanya, Pak. Apakah ada sesuatu yang ketinggalan pada diri saya?” tanya Ibu.

Satpam itu jelas bengong. Ibu Lupus dongkol. Katanya mau membantu, masa ditanya begitu saja bengong?

Astaganaga! Ibu baru ingat. Ya, ampun, anakku. “Lupus! Lupus!” Ibu berteriak-teriak, berlari-lari. Tak peduli orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Ibu kembali ke tukang penjepit jemuran. Alhamdulillah, Lupus masih ad di situ. Ibu lupa, kalau ternyata dia itu pergi bersama anaknya tercinta. Gara-gara terlalu girang karena telah mendapat penjepit jemuran, jadi lupa menggandeng anaknya.

Ketika dilihat Lupus masih segar-bugar tak kurang suatu apa. Ibu langsung memeluknya. Menciumnya. Mirip film Indonesia. Tapi Lupus sendiri biasa-biasa saja. “Lupus cuma mau menguji, lebih berharga mana, penjepit jemuran atau Lupus,” bisik Lupus pada Ibu.

Ibu tersenyum.

Tapi, ngomong-ngomong soal penjepit jemuran, Ibu jadi ingat kembali dengan penjepit jemurannya yang ditinggalnya di muka toko kue. Wah - jangan-jangan nanti hilang?

“Lupus, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Penjepit jemuran Ibu ketinggalan!” ujar Ibu sambil bergegas kembali ke toko kue, meninggalkan Lupus yang terbengong sendirian.

Lupus cuma nyengir. Ya, ternyata dua-duanya penting. Ibu juga nggak mau dong kehilangan penjepit jemurannya!

Minggu, 10 Oktober 2010

shinta and jojo - Cinta Satu malam.flv

Pat & Stan In The Lion Sleep Tonight

vIDEO MUSIC

sipirok 2..

di sipirok hanya terdapat satu Hotel cantik yang bernama TOR SIBOHI NAULI HOTELmeski tak sebagus hotel di kota2 tapi klw utk kota sipirok ini menjadi pilihan yang tepat...selain tempatnya bersih pemandangan disini lumayanlah untuk menjernihkan pikiran...hotel nih berjarak 4km dari aek milas sosopan kearah padang sidempuan....tiadak hanya itu di tempat nih ada juga namanya HARITTE.... yang berarti kolam air panas.....tapi bukan buat mandi lho....
di haritee neh menagndung belerang yang sangat tinggi..... jadi bagi yang ber .....................
kulit datangi az tempat... kemudian mandi lumpur yang agak panas dijamin itu penyakit sembuh.....



selain orang sekitar para tamu hotel pun yang berasal dari luar negri pun tak jarang berkunjung ketempat neh hanya utk melihat kawah yang tidak begitu besar tapi lumayanlah uap air tuh bisa membuat kita keringatan......

kembali ke hotel
pada suatu hari tak sengaja saya ketemu dengan seorang perempuan yang manis dan cantik bermarga regar di facebook...orangnya baik juga..(boru regar tuh baik2 dan cantik lagi ). belum pernah ketemu sehhh...tapi dia dah baik banget.... cerita ke cerita rupanya kakak ku yang pernah juga kerja disini sebagai receptionist... neh photonya sekarang...

cantik kan???? memang dimana2 boru regar tuh cantik2 meskipun suka merepet tapi biarlah toh nanti akan loja juga matbek2 sajo ari2on.... tapi sebenarnya mereka tuh baik koq..... dia pun marah karna sebab koq......
waduh koq cerita nya lari dari judul sehhhh.... tapi gak koq disipirok kan rata boru regar yang banyakkk
 bwt kakak ku yang baik yang di maksud nanti klw buka blog nehh jangan marah ya photo yang yang ku curi facebook di postkan disini......... tapi memang pantas koq di pajang secara cantik gitu lohhhh

udah dulu yaa nanti makin kemana2 lagiii.

wasslam.

sipirok

sipirok.........salah satu tempat wisata di sipirok adalah pemandian umum aek milas.....dimana banyak orang berdatangan ketempat neh untuk mandi air panas gratis....heheheheheh... memang bersifat gratisssssss......apalagi di saat hari lebaran tiba tempat neh sangat ramai di kunjungi orang2 dari berbagai daerah... di tap-sel.







ini dia nehhh pas di balik mesjid nehhh meski agak kurang terawat... tapi kan gratissssssss hahahahahahahah
lumayan lah... kan suasana iklim dan hawa sipirok tuh dingin banget.... jadi sangat pas banget denga kehadiran tempat nehhh tuhan memang adil.............



setelah mandi2 eitsss jangan lupa dengan SAMBAL TARUMA nya yang enak bgt...di teman ni dengan segelas teh manis hangat....betapa enaknya.....

sambal taruma nie iyalah keripik singkong yang di campur bersama dengan cae merah yang sangat pedas tapi enak.... mgkin karna dingin kali yahhhh.... Taruma sendiri tuh yang berarti kolong rumah.....
zaman dulukan rumah orang2 tuh kolongnya tinggi2... jadi kolong neh sebagai tempat yang pas untuk mengolah kripik tersebut......

 bedanya sama kerupik cabe yang laen cabe (sambalnya ) di pisah dari kripik nya.. jadi kalau kita mau menyaptapnya kita tinggal colek sambal nya... ada juga yang dicampur.. sesuai permintaan...........

CERPEN

Menu Makan Malam




Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi
Ibu bersumpah untuk membangun keluarganya di atas meja makan. Ia terobsesi mewujudkan keluarga yang bahagia melalui media makan bersama. Maka, ia menghabiskan hidupnya di dapur, memasak beribu-ribu bahkan berjuta-juta menu makanan hanya untuk menghidangkan menu masakan yang berbeda-beda setiap harinya. Ia memiliki jutaan daftar menu makan malam di lemari dapurnya. Daftar itu tersusun rapi di dalam sebuah buku folio usang setebal dua kali lipat kamus besar Bahasa Indonesia, berurut dari menu masakan berawal dengan huruf A hingga Z. Ia menyusun sendiri kamus itu sejak usia perkawinannya satu hari hingga kini menginjak usia 25 tahun. Di sebelah kamus resep masakan itu, bertumpuk-tumpuk pula resep masakan dari daerah Jawa, Madura, Padang, bahkan masakan China. Belum lagi kliping resep masakan dari tabloid-tabloid wanita yang setebal kamus Oxford Advanced Learner.

Isi kepala Ibu memang berbeda dengan ibu lain. Dalam kepalanya seolah hanya ada tiga kata, menu makan malam. Setiap detik, setiap helaan napasnya, pikirannya adalah menu-menu masakan untuk makan malam saja. Makan malam itulah ritual resmi yang secara tersirat dibikinnya dan dibuatnya tetap lestari hingga saat ini. Meskipun, ketiga anaknya telah beranjak dewasa, ia tak pernah surut mempersiapkan makan malam sedemikian rupa sama seperti ketika ia melakukannya pertama, sejak usia pernikahannya masih satu hari.

Keluarga ini tumbuh bersama di meja makan. Mereka telah akrab dengan kebiasaan bercerita di meja makan sambil menikmati menu-menu masakan Ibu. Mereka berbicara tentang apa saja di meja makan. Mereka duduk bersama dan saling mendengarkan cerita masing-masing. Tak peduli apakah peristiwa-peristiwa itu nyambung atau tidak, penting bagi yang lain atau tidak, pokoknya bercerita. Yang lain boleh menanggapi, memberi komentar atau menyuruh diam kalau tak menarik. Muka-muka kusut, tertekan, banyak masalah, stres, depresi, marah, kecewa, terpukul, putus asa, cemas, dan sebagainya, bisa ditangkap dari suasana di atas meja makan. Sebaliknya muka-muka ceria, riang, berseri, berbunga-bunga, jatuh cinta, juga bisa diprediksi dari ritual makan bersama ini. Ibu yang paling tahu semuanya.

Ia memang punya kepentingan terhadap keajegan tradisi makan bersama ini. Satu kepentingan saja dalam hidupnya, memastikan semua anggota keluarganya dalam keadaan yang ia harapkan. Bagi Ibu, sehari saja ritual ini dilewatkan, ia akan kehilangan momen untuk mengetahui masalah keluarganya. Tak ada yang bisa disembunyikan dari momen kebersamaan ini. Dan kehilangan momen itu ia rasakan seperti kegagalan hidup yang menakutkan. Ia tak mau itu terjadi dan ia berusaha keras untuk membuat itu tak terjadi.

Ia tak berani membayangkan kehilangan momen itu. Sungguh pun tahu, ia pasti menghadapinya suatu saat nanti, ia merasa takkan pernah benar-benar siap untuk itu. Yang agak melegakan, semua anggota keluarganya telah terbiasa dengan tradisi itu dan mereka seolah menyadari bahwa Ibu mereka memerlukan sebuah suasana untuk menjadikannya "ada". Semua orang tahu dan memakluminya. Maka semua orang berusaha membuatnya merasa "ada" dengan mengikuti ritual itu. Namun, kadang beberapa dari mereka menganggap tradisi ini membosankan.
***
Jam empat pagi. Ibu telah memasak di dapur. Ia menyiapkan sarapan dengan sangat serius. Ibu tak pernah menganggap memasak adalah kegiatan remeh. Ia tak pernah percaya bahwa seorang istri yang tak pernah memasak untuk keluarganya adalah seorang Ibu yang baik. Jika ada yang meremehkan pekerjaan memasak, Ibu akan menangkisnya dengan satu argumen: masakan yang diberkahi Tuhan adalah masakan yang lahir dari tangan seorang Ibu yang menghadirkan cinta dan kasih sayangnya pada setiap zat rasa masakan yang dibikinnya. Ibu meyakini bahwa makanan adalah bahasa cinta seorang Ibu kepada keluarganya, seperti jembatan yang menghubungkan batin antarmanusia. Sampai di sini, anak-anaknya akan berhenti mendengar penjelasan yang sudah mereka hapal di luar kepala. Ibu takkan berhenti bicara kalau kedamaiannya diusik. Dan yang bisa menghentikannya hanya dirinya sendiri.

Sarapan tiba. Ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ia menyiapkan menu sesuai dengan yang tertera di daftar menu di lemari makanan. Telur dadar, sayur hijau dan sambal kecap. Ada lima orang di keluarganya. Semua orang memiliki selera berbeda-beda. Suaminya suka telur yang tak matang benar, agak asin, tanpa cabe. Aries suka telur yang benar-benar tergoreng kering, dan harus pedas. Pisca, suka makanan serba manis. Telur dadarnya harus setengah matang dengan kecap manis dan sedikit vitsin. Sedangkan Canestra, tak suka pada kuning telur. Sebelum didadar, kuning telur harus dipisahkan dulu dari putihnya. Jika tidak dibuatkan yang sesuai dengan pesanannya, ia bisa mogok makan. Berhari-hari.

Bagaimana dengan Ibu? Ibu bahkan tak pernah macam-macam. Telur dadarnya adalah yang standar, tidak ada perlakuan khusus. Ia boleh makan apa saja, yang penting makan, jadilah.

Pukul 07.05. Telur dadar setengah matang asin, telur dadar pedas, telur manis dengan vitsin, dan telur tanpa kuning, berikut sayur hijau dan sambal kecap telah terhidang. Semua telah menghadapi hidangan masing-masing sesuai pesanan. Makan pagi biasanya tak ada yang terlalu banyak bicara. Semua sibuk dengan rencana masing-masing di kepalanya. Kelihatannya, tak ada yang ingin berbagi. Aries kini sudah bekerja di sebuah kantor pemerintah, menjadi tenaga honor daerah. Ia harus tiba di kantor setidaknya pada tujuh dua lima, karena ada apel setiap tujuh tigapuluh. Pisca harus ke kampus. Ia duduk di semester tujuh kini. Tampaknya sedang tak bisa diganggu oleh siapa pun. Wajahnya menunjukkan demikian. Mungkin akan bertemu dengan dosen pembimbing atau entah apa, tapi mukanya keruh. Mungkin banyak persoalan, tapi Ibu cuma bisa memandang saja. Sedang Canestra masih di SMA. Ia tampak paling santai. Tangannya memegang komik. Komik Jepang. Makan sambil membaca adalah kebiasaannya. Sang Bapak, duduk diam sambil mengunyah makanan tanpa bersuara dan tanpa menoleh pada yang lain. Pria yang berhenti bekerja beberapa tahun lalu itu tampak lambat menyelesaikan makannya. Ia menikmati masakan itu, atau tidak peduli? Tak ada yang tahu.

Satu per satu mereka meninggalkan ruang makan. Hanya piring-piring kotor yang tersisa di meja makan. Ibu membawanya ke dapur, mencuci piring-piring itu sampai bersih dan mengelap meja makan. Ritual berikutnya adalah menyerahkan anggaran belanja ke pasar hari itu kepada suaminya. Saat-saat inilah yang paling ia benci seumur hidupnya. Ia benci menerima uang dari suaminya yang selalu tampak tak rela dan tak percaya.

Akhirnya, memang bahan-bahan menu itu dipangkas seenak udelnya, ia tak mau tahu apa pun. Ujung-ujungnya ia cuma memberi sepuluh ribu saja untuk semua itu. Tentu saja kurang dari anggaran yang seharusnya, dua puluh ribu. Untuk itu semua, maka otomatis menu berubah; tak ada ayam bumbu rujak, tak ada capcay, yang ada tinggal perkedel jagung dan tempe. Sayur hijau, katanya, bolehlah. Yang penting sayur, dan murah. Ah…

Ibu berjalan ke pasar dengan gontai. Hari itu Jumat. Hari pendek. Anak-anak akan pulang lebih cepat dari biasa. Ia mempercepat langkahnya. Tak mudah membagi waktu, kadang pekerjaan teramat banyaknya sampai-sampai tak ada waktu untuk melakukan hal lain selain urusan dapur. Kadang ia berpikir ada sesuatu yang memang penting untuk dilakukan tapi itu akan mengabaikan urusan dapur dan itu berarti pula mengabaikan selera anak-anaknya. Itu tidak mungkin. Tak ada yang mengerti selera anak-anaknya kecuali dia.

Tapi kadang ia bosan berurusan dengan menu-menu. Ia telah mencoba semua menu yang ada di buku-buku masakan, ia telah mencoba semua resep masakan di teve, dan ia kehabisan ide suatu ketika. Ia mencatat menu-menu yang sudah pernah dibikinnya. Serba-serbi sambal: sambal goreng krecek, sambal goreng hati, sambal godog, sambal kentang, sambal bawang, sambal kecicang, sambal serai, dll. Aneka ca, semacam: ca sawi, ca kangkung, ca bayam, ca tauge, ca bunga kol, dll. Semua jenis perkedel dan gorengan kering: perkedel ketimun, perkedel kentang, perkedel jagung, pastel kentang, kroket kentang, dan seterusnya. Sampai makanan golongan menengah dilihat dari mahalnya bahan pokok semacam: babi kecap, gulai kare ayam, gulai udang, sate bumbu rujak, opor ayam, sup kaki ayam dengan jamur tiongkok, dendeng sapi, kepiting goreng. Juga serba-serbi makanan China semacam: shiobak, koloke, fuyung hai, ang sio hie, hao mie, tao mie, dan seterusnya. Daftar ini masih akan bertambah panjang kalau disebutkan serba-serbi pepes, serba-serbi urap, atau serba-serbi ikan.

Semua menu sudah dicobanya habis tak bersisa, tapi sepertinya masih saja ada sesuatu yang kurang. Ia pun lebih kerap berkreasi, satu menu masakan kadang-kadang dipadu dengan menu masakan lain, misalnya pepes tempe, gulai pakis, sate tahu, dan sebagainya. Tapi masih saja menu-menu itu terasa tak cukup untuk membuat variasi menu yang berbeda setiap harinya. Karena itulah yang akan membuat keluarganya betah dan merindukan makan malam.

Ia pernah merasa ingin berhenti saja memikirkan menu-menu itu, tapi suaminya akan berkata, "Kau telah memilih menjadi perempuan biasa-biasa saja, tidak bekerja dan melayani keluarga. Bahkan kau bersumpah akan membangun keluarga di atas meja makan, kenapa tidak kau pikirkan sebelumnya?"

Ibu merenungkan kata-kata suaminya. Ada yang salah terhadap penilaian-penilaian. Ada yang tak adil di dalamnya. Hampir selalu, yang menjadi korban adalah mereka yang dinilai, mereka yang tertuduh, mereka yang melakukan sesuatu tapi dinilai salah dan dianggap biasa-biasa saja. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi dengan biasa dan tak biasa? Apa yang menentukan yang biasa dan yang tak biasa? Menjadi Ibu adalah sangat luar luar luar biasa. Apakah seorang ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk keluarga lebih biasa daripada seorang ibu yang tak pernah sekalipun berpikir tentang keluarganya, meski ia punya tujuh perusahaan dan kaya raya? Lagipula, itu cuma perasaan, bukan angka-angka dalam matematika, namanya juga perasaan. Tercium bau hangus. Ibu tersentak dari lamunannya. Tempenya gosong.

Ia menyudahi goreng-menggoreng tempe itu. Lalu dengan bergegas ia menyambar sekeranjang cucian kotor, mulai mencuci. Anaknya datang satu per satu. Ibu belum selesai mencuci. Ia agak tergesa karena harus menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Setelah menyiapkan makan siang, ia kembali bekerja, menyelesaikan cucian.

Makan siang Ibu adalah jam 3 sore. Setelah itu, ia tidur dua jam. Sehabis jam 5 sore, sehabis tidur siangnya, ia harus menyiapkan makan malam. Sehabis makan malam, jangan kira ia selesai. Ada Bapak yang setiap hari minta dipijit, tapi setiap hari mengeluh pijitan Ibu tak pernah mengalami kemajuan. Ah…

Dia melakukannya selama sisa hidupnya. Ia berkutat dengan semua itu selama puluhan tahun, tak pernah ada yang memujinya, dan ia pun tak ingin dipuji, tapi itukah yang disebut perempuan biasa?

Suatu ketika, sebuah peristiwa datang mengusik keluarga itu.
Hari itu Selasa, ketika sebuah perubahan memperkenalkan dirinya kepada keluarga itu. Aries menolak makan bersama. Ia tentu punya alasan di balik aksi mogoknya. Tapi tak ada yang tahu apa alasan Aries.

Ibu kecewa. Menu makan malamnya tak dicicipi selama tiga hari berturut-turut. Ini adalah beban mental bagi seorang Ibu. Ia bukanlah orang yang suka memaksa, tapi selalu membaca dari tanda-tanda dan suka juga menebak-nebak. Sialnya, Aries tak pernah memiliki cukup waktu untuk menjelaskan semua itu. Ia tampak begitu sibuk. Kadang ia bahkan terlihat menyibukkan diri, menghindar dari Ibu. Ia menomorduakan ritual makan malam mereka. Ibu menangis, ia merasa segala usahanya untuk membangun tradisi makan malam ini sia-sia saja. Salahkah jika ia berusaha membikin sesuatu yang kelak retak menjadi abadi? Mungkin memang salah, tapi dulu tak seorang pun cukup berani menunjukkan di mana letak salahnya, tak seorang pun tega mengecewakan Ibu. Tapi Aries, kini telah membuatnya kecewa secara nyata.

Suasana menjadi semakin keruh ketika di hari kelima, keenam dan ketujuh, Aries juga absen makan malam.
Ibu bertindak. Ia masuk ke kamar si sulung, lalu, mungkin, bicara di sana. Pisca dan Canestra duduk di depan tivi, tidak mendengar apa-apa.

Satu jam kemudian, Ibu keluar dengan wajah murung, tapi dibikin agar kelihatan berseri. Ia tampak aneh.
"Aku tahu selama ini kita tak pernah jujur dengan makan malam itu. Satu-satunya yang jujur hanya dia. Kita semua sudah bosan, ya kan? Ibu juga. Dan mulai saat ini, tidak ada lagi kebohongan apa pun. Tinggalkan saja jika kalian memang tak setuju. Ibu juga sudah lelah memikirkan menu-menu makan malam untuk kalian. Ibu ingin merasa tidak perlu menyiapkannya untuk kalian. Ibu akan mencoba. Selamat bersenang-senang!"

Ibu terlihat enteng menyelesaikan persoalannya. Bapak menyusul Ibu ke kamar. Mudah-mudahan mereka bercinta. Ah ya mereka sepertinya tak pernah bercinta lagi sejak beberapa tahun ini. Padahal itu perlu, terutama bagi Ibu yang lelah luar biasa. Fisik dan jiwa.

Pisca menyelinap masuk ke kamar Aries, meninggalkan Canestra yang masih asyik nonton tivi. Ia sungguh ingin tahu, apa yang dibicarakan Ibu dan Aries, sehingga Ibu keluar dengan wajah aneh, murung tapi dipaksakan berseri. Pisca bertanya, "Ada apa?" Aries tak menjawab, namun tiba-tiba menangis dan menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Dengan sesenggukan, ia berkata, "Untuk apa lagi mempertahankan sebuah kepalsuan di depan Ibu? Salah satu dari kita semua telah mengkhianati Ibu, untuk apa lagi semua ini dipertahankan?"

Pisca menangkap ucapan kakaknya dengan jelas, namun ia tak mengerti, dan tak ingin mengerti, karena semua itu terlalu menyedihkan baginya. Apalagi yang lebih menyedihkan ketika tahu seseorang telah berkhianat kepada Ibu? Siapa pun dia, Pisca tak ingin tahu. Ia tak ingin mendendam, apalagi terhadap keluarganya sendiri. Tapi, bukankah Ibu selalu tahu apa yang terjadi? Semua pertanyaan bertumpuk-tumpuk di kepalanya.

Sesuatu yang kelak retak, yang Ibu pernah berusaha membikinnya abadi, kini sudah benar-benar retak berkeping-keping dan tak mungkin disatukan lagi. Sejak saat itu, makan malam bersama tidak rutin lagi bagi mereka. Hanya Ibu yang masih betah di sana. Sesekali Pisca atau Canestra mendampinginya. Mungkin tiba saat ketika ia benar-benar rindu makan malam bersama.

Sialnya, Bapak benar-benar tak memahami persoalan dengan baik. Ia sok bijak dan pandai. Kata-katanya sungguh tak tepat untuk menggambarkan seluruh keadaan ini.

"Benar kan, Ibumu memang perempuan biasa-biasa saja. Ia bahkan menganggap hal remeh ini sebagai kiamat dalam hidupnya!"
Pisca meradang. Ia merasa Bapak yang sombong itu harus dihentikan.

"Apa yang biasa? Apa yang tak biasa? Bapak juga laki-laki biasa, yang tak bisa seperti Ibu. Bapak jauh lebih biasa dari Ibu. Ibu, setidaknya berusaha membikin tradisi agar kita tahu arti kebersamaan sekalipun di atas meja makan. Tapi lihatlah Bapak yang hanya suka mengejek tapi tak pernah melakukan apa pun, bahkan tak pernah berusaha melakukan apa pun!"

Bapak diam. Dia kelihatan tersinggung. Tapi Pisca suka dan puas membuatnya tersinggung. Pisca memutuskan untuk menemui Ibu. Ibu menyambutnya dengan senyum. Ia tahu Pisca akan berbicara soal Bapak, soal biasa dan tak biasa. Ibu mencegahnya bicara lebih dulu, "Begini. Bapak benar soal Ibu yang biasa-biasa saja. Ini sudah seharusnya. Ibu menerima semua itu, bukan karena Ibu pasrah tapi Ibu mengerti betul kalian semua dan juga persoalan ini. Ibu memang perempuan biasa, tak ingin menjadi yang tak biasa. Ibu mencintai Bapak, kalian semua. Ibu tak bisa memberi uang, maka Ibu cuma memberi kemampuan Ibu memasak, itu pun jika kalian mau menikmatinya."

"Tapi Bu, ini penghinaan. Masalah makan malam itu bukan masalah sekadar, bukan masalah remeh temeh. Sebesar itu usaha Ibu membangun tradisi kebersamaan di keluarga kita, tapi Bapak bahkan menganggapnya tak ada. Kita belajar satu sama lain di meja makan itu, kita memutuskan hidup kita di atas meja makan itu, dan ingat, ketika Bapak berhenti bekerja di kantor karena penyelewengan dana yang sangat memalukan itu, yang menolong Bapak adalah kita, juga di atas meja makan itu."

"Bapak kini sedang merasa kesepian, ia kehilangan saat-saat terbaiknya, itu hal tersulit yang pernah ditemuinya. Kita harus memahami itu."

Dari beranda, Bapak mendengar semua percakapan itu. Ia berpikir bahwa istrinya memang baik, pengertian dan sabar, tapi sungguh ia sangat biasa, dan yang terpenting, tak menggairahkan. ***
Cerpen
malam nina


Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. ***

Sabtu, 09 Oktober 2010

buat blog itu ternyata gampang

di blog yang baru jadi nehhh masih bingung mau di isi in apa,,,, tapi tak apa2 deh nanti kan dapat ide sendiri,,, baik itu cerita ,, foto lucu, seramm, unik..........

bagi teman yang nantinya bertamu ke blog nehhh jangan lupa ninggalin comment yah sebagai masukan buat saya 


thank's