ULANG TAHUN
ADA seorang teman Lupus. Namanya Pepno SH. Anaknya masih kecil. Sekecil Lupus. Badannya rada kurus. Berkulit hitam, dan berambut agak ikal. Kalau habis berlari-larian ujung hidungnya suka berkeringat. Seperti embun di pagi hari.
Lupus sering bermain-main dengan dia.
Seperti juga kamu, Lupus pertama heran. Kenapa si Pepno ini kecil-kecil sudah punya gelar SH? Nggak taunya itu nama bapaknya: Simin Harjo, yang biasa disingkat SH. Hihihi... lucu, ya?
Nah, sore tadi si Pepno berlarian datang ke arah Lupus yang tengah bersiap-siap pergi mengaji. Ia berbisik, “Pus, besok datang ke rumahku, ya? Aku ulang tahun. Eh, tapi jangan lupa bawa kado dong. Biar balik modal.“
“Ulang tahun?” Lupus bertanya heran. “Ulang tahun apa?”
Ih, Lupus norak, ya? Masa ulang tahun aja nggak tau?
Tapi kalian memang mesti maklum kalau ternyata memang ada anak yang belum tau apa itu ulang tahun. Karena di sebagian keluarga, ada. yang menganggap kalau ulang tahun itu tak perlu dirayakan. Apalagi kalau orang tuanya pelit, seperti bapaknya, si Lupus. Merayakan ulang tahun dianggap pemborosan saja, katanya. Makanya, Lupus nggak apa itu ulang tahun.
Mata Pepno yang bulat dan lucu itu menyipit.
“Ulang tahun apa? Ya ulang tahun saya.” Pepno ternyata bingung juga menjawab pertanyaan Lupus.
“Ulang tahun itu apa?” Lupus masih belum mengerti juga. “Ulang tahun itu adalah tahun yang diulang,” ujar Pepno setengah ragu. Ya, habis bagaimana dia harus menjelaskan. “Kata mama saya, setiap tanggal 21 April itu ulang tahun saya.”
“Lha? Kenapa harus tanggal 21 April?” tanya Lupus. “Tidak tanggal 10 Nopemnber atau 32 Januari saja?”
“Tau tuh. Mama sukanya tanggal 21 April sih. Gitu aja, Pus. Jangan lupa besok sore. Dadaaah. ...”
“Eh, tapi dijemput, ya?”
***
Pulang mengaji, Lupus mendapatkan ibunya sedang asyik mengobrol dengan Tante Ani, tetangga sebelah. Menjelang magrib, kala urusan rumah tangga sudah diselesaikan semua, ibu Lupus sering duduk-duduk di taman mengobrol dengan tetangga sambil minum teh. Bapak sih jarang ikutan nimbrung. Kerjaannya sepulang kantor tidur melulu.
“Dulu, anak saya si Lulu, suka sekali mengisap jempolnya, Jeng. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ucap ibu Lupus sambil menuangkan teh buat Tante Ani. Lupus yang bandel, sempat juga menguping dari balik pohon asoka.
“O ya? Bagaimana cara mengatasinya, Jeng?”
“Mudah saja, Jeng. Jempolnya, suka saya beri yang pahit-pahit. Jamu, misalnya.”
“Lalu, setelah itu bagaimana reaksinya, Jeng?”
“Sekarang, ia mengisapi jari kelingkingnya.“
Hihihi... Lupus tak bisa menahan ketawanya. Ini jelas membuat ibu Lupus berang. “Hayo, Lupus! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan suka mencuri dengar pembicaraan orang tua!”
Lupus keluar sambil tertawa-tawa kecil.
Dan dia segera bilang ke ibunya bahwa besok ia diundang ke. Ulang tahun Pepno.
“Ulang tahun yang keberapa?” tanya Ibu.
Wah, keberapa, ya? Lupus bingung. Soalnya dia tak tanya tadi. “Eeeng... suit sepentin kali, Bu!”
Ah, Masa sweet seventeen? Ibunya tak percaya. Ibunya berkata, kalau tak salah Pepno lahir berbarengan dengan pohon pisang yang ditanam Bapak di kebun belakang.
“Wah, jadi si Pepno udah tua dong, Bu,” ujar Lupus heran. Ya, karena pohon pisang yang dimaksud Ibu itu sudah reot. Pelepah pisangnya sudah berwarna cokelat. Disentil juga roboh.
“Pepno lain dong dengan pohon pisang. Pohon pisang memang cepat besar dan tua. Tapi Pepno kan tidak,” jelas ibunya.
“Oo... mungkin karena Pepno jarang disiram dan diberi pupuk ya, Bu?” simpul Lupus.
Yah, mungkin sekarang Pepno umurnya sama dengan Lupus. Tujuh tahun. Sekarang, Lupus pun mengira-ngira, kado apa yang cocok buat Pepno.
“Eh, gimana, Bu, kalo beli buku tulis saja buat kadonya Pepno?” usul Lupus.
“Ah, jangan. itu terlalu murah. Lebih baik potlot aja!”
Tapi ternyata Pepno tidak cuma mengundang Lupus. Lulu pun sudah diberi tahu. Pepno juga berpesan agar Lulu membawa kado.
Lulu mengusulkan agar Pepno diberi boneka saja.
Lupus jelas menolak. “Pepno kan anak laki-laki. Masa mau dia diberi boneka?”
“Kalo dia nggak mau, kan bica buat Lulu aja. “
Pertengkaran Lupus dan Lulu sebetulnya bakalan seru. Tapi Ibu buru-buru melerai. Ibu cuma mau membelikan satu kado saja. Dan akhirnya diputuskan, Pepno akan dibelikan pistol-pistolan air saja
***
Sorenya pistol-pistolan air yang cukup unik itu siap dibungkus. Sebelum dilapisi kertas kado yang cantik, Ibu membungkusnya dengan beberapa kertas koran.
“Kenapa mesti begitu, Bu?” tanya Lupus.
“Biar kelihatan besar. Nanti kan Pepnonya senang.”
Pistol-pistolan air itu memang jadi kelihatan besar sekarang. Apalagi setelah dibungkus kertas kado yang bermotifkan warna-warni. Jadi kelihatan tambah cantik. Wah, si Pepno pasti senang.
Tapi, astaga! Pistol-pistolan ini belum dicoba. Lupus cemas. Ya, bagaimana kalau ternyata pistol-pistolan air ini macet? Bisa malu dong. Kok ngasih hadiah nggak bisa dipakai?
Maka diam-diam Lupus pun membuka kado yang udah terbungkus rapi itu. Gulungan koran yang membuatnya gemuk, kini berserakan di lantai. Lupus tak peduli. Yang penting pistol ini mesti dicoba dulu.
Setelah dibuka, pistol air itu diisi air. Dan ditembakkan ke arah pot-pot bunga. Kadang-kadang, rambutnya pun dibasahi oleh pistol-pistolannya itu. Lupus senang, berarti pistol mainan ini tidak macet.
Lagi asyik-ayiknya mencoba, Ibu datang. Ibu habis membeli pita. Untuk kado dan untuk rambutnya Lulu. Biar kedua-duanya cantik.
Jelas saja Ibu ngomel melihat ulah Lupus.
“Aduh, Lupus. Kenapa kadonya dibuka begitu?”
“Habis tadi belum dicoba, Bu. Lupus khawatir kalo pistol-pistolan ini macet.”
Ibu akhirnya membungkus kado itu lagi. Cuma kali ini ditambahi pita biar cantik.
Kado ini ternyata tidak mau kalah saingan sama rambut Lulu yang senantiasa berpita. Lupus pun ikut-ikutan meminta dipakaikan pita. Tapi Ibu melarang. Lupus nekat. Ia mengambil kaset dan mengeluarkan pitanya yang panjang. Kemudian digulungkan ke rambutnya. Lupus ternyata juga tak mau kalah saingan.
“Hihihi... pitaku lebih panjang!”
***
Sore itu di rumah Pepno sudah ramai. Banyak juga temannya yang datang. Pepno memang mengundang semua teman-teman mainnya.
Rumahnya sendiri tampak semarak. Dihiasi balon-balon, kel tas Warna-warni, dan juga kue tart besar berlilin tujuh yang begitu menarik perhatian Lupus.
Pepno memakai baju baru. Warnanya merah, dan dimasukkan ke dalam celana panjangnya yang juga baru. Pepno jadi kelihatan ganteng. Kayak sekoteng.
Tapi perhatian Lupus tetap tak lepas dari kue tart besar yang dilapisi cokelat itu. Oi, pasti enak sekali rasanya. Lebih enak dari kue bikinan Ibu. Ah, mudah-mudahan saja kue itu tidak hanya sekadar buat pajangan.
Selanjutnya acara dibuka dengan nyanyi-nyanyi bersama. Sambil bertepuk tangan meriah. Kadang anak-anak bernyanyi saling adu cepat. Mungkin dengan harapan yang duluan selesai nyanyi bakal segera mendapat potongan kue tartt.
Kemudian disusul dengan acara-acara menarik. Di antaranya seperti mengoper gelas yang diisi air, sambil diiringi musik. Bila gelas itu berada di t1ngan seorang anak dan bersamaan dengan matinya musik, berarti anak tadi mendapat hukuman. Boleh nyanyi, boleh baca puisi. Boleh juga berjoget sepuas hati.
Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali. Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya.
Anak-anak pada terheran-heran.
Lupus pun terpaksa dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.
Tanpa ragu, Lupus pun membacakan puisi karyanya sendiri,
“di laut sudah pasti ada iar
di air belum tentu ada laut
di rumah sudah pasti ada pintu
di pintu belum tentu ada rumah
di meja sudah pasti ada sepotong kue
dan kuenya belum tentu dipotong...”
Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus pun tiba, Pepno memolong, kue tart jadi beberapa bagian. Potongan pertama untuk maminya, kedua untuk papinya, ketiga untuk adiknya, keempat untuk kakaknya, kelima untuk neneknya, keenam untuk kakeknya....
“Lha, untuk saya mana, ya?” pikir Lupus cemas.
Lupus khawatir kalau-kalau kue itu memang buat keluarga Pepno saja. Wah, bisa gawat nih! Lupus sebel, kenapa tuan rumah kadang cuma menyediakan kue yang mahal-mahal untuk pajangan aja? Bukan untuk dibagikan pada tamunya.
Tapi ternyata dugaan Lupus meleset. Kue tart itu juga dibagikan kepada teman-teman yang lain. Tentu termasuk Lupus. Lupus mendapat bagian yang lebih besar. Karena baca puisinya bagus. Lupus sangat girang sekali. Dia memakan sedikit demi sedikit. “Biar enaknya lama.”
Tapi kapan ya, bisa makan kue enak lagi? Lupus pun merenungi. Hingga kemudian dia bangkit menghampiri maminya Pepno dan membisiki, “Tante, bagaimana kalo ulang tahunnya Pepno tiap seminggu sekali aja, Tante?”
5 Ke Sekolah
PAGI-PAGI sekali Lupus sudah bangun. Maklum, kalau tidak bangun pagi-pagi, dia bisa terlambat pergi ke sekolah. Dan kalau sampai terlambat ke sekolah, Lupus bisa kena setrap. Kalau sampai kena setrap, Lupus bisa disuruh berdiri di pojokan kelas sepanjang pagi. Kalau sampai disuruh berdiri di pojokan kelas, Lupus bisa malu. Kalau sampai malu... ah, makanya, Lupus lebih baik tidak terlambat ke sekolah.
Tapi sebetulnya, Lupus masih suka dibangunkan ibunya daripada bangun sendiri. Pernah sesekali Lupus berpesan pada ibunya agar jangan dibangunkan. Akibatnya Lupus baru bangun ketika jam dinding di rumahnya berdentang sembilan kali. Makanya Lupus hingga sekarang lebih suka dibangunkan saja. Lupus sendiri heran, kenapa dia susah bangun pagi. Padahal menurutnya, dia tidak pernah tidur terlalu larut. Paling-paling jam sembilan dia sudah masuk kamar. Cuma, ya di kamar dia suka keasyikan baca buku cerita hingga larut malam.
Kegiatan Lupus setiap pagi selain bangun tidur, biasanya ngulet-ngulet sedikit. Tau ngulet, kan? itu lho, senam gaya ulet. Ya, habis senamnya kan di tempat tidur. Lupus kadang juga suka lari pagi. Berkeliling-keliling kompleks perumahan sebanyak satu kali. Larinya kadang-kadang pelan, kadang-kadang cepat Lupus suka lari cepat kalau kebetulan dikejar sama anjing tetangga yang galak. Setelah lari pagi, biasanya Lupus mandi. Tak lupa sikat gigi, kalau kebetulan ditunggui Ibu. Habis itu handukan. Yah, terpaksa handukan ini diharuskan jadi kebiasaan. Karena Lupus setelah mandi suka lupa handukan. Masih basah kuyup, langsung pakai baju seragam. Kan jadi basah semua, ya, bajunya. Setelah urusan mandi selesai, Lupus sarapan. Untuk sarapan ini tak biasa makan nasi. Tapi cukup lontong sayur saja. Tapi kadang-kadang, dia juga makan roti.
Sehabis makan roti, biasanya masih ada sedikit waktu untuk sekadar mengobrol dengan adiknya Lulu, atau dengan ibunya yang sedang mengolesi roti buat Bapak di meja makan.
“Bu, semalam Lupus mimpi dikejar-kejar raksasa. Uh, tegang deh. Lupus lari sekuat-kuatnya,” celoteh Lupus seru.
Ibunya memandang sebentar. Lalu dengan pelan berujar, “O, pantas kasurmu basah semua. Mungkin itu cucuran keringatmu, ya, Pus,” sindir ibunya menahan tawa.
Lulu sudah cekikikan saja di ujung meja. Ih, ketauan. Lupus pasti ngompol. Lupus memang paling bisa berdalih kalau dia ketauan ngompol. .
Tapi Lupus pura-pura tak mendengar sindiran ibunya. Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Eh, tapi kemarin Lupus di sekolah dapat hapusan potlot. Bagus deh, Bu. Bentuknya seperti mobil-mobilan. Wangi lagi....”
“Ah, kamu dapat nyuri, ya?” sergah ibunya ketika Lupus menunjukkan penghapus barunya.
“Enggak, Bu.”
“Kamu dapat dari mana?”
“Dapat nemu di tempat pinsilnya Pepno yang sedang terbuka, Bu. Bagus, ya?”
Dan Lupus pun langsung melompat turun dari kursinya ketika ada suara teman memanggil.
“Lupus berangkat, Bu, Pak. Sampai ketemu nanti siang, ya?”
“Lupuuuus, penghapus itu...”
Ibunya berusaha menahan, tapi Lupus sudah berlarian menyambut teman-temannya.
***
Si Pepno, teman Lupus yang baru berulang tahun itu, kebetulan juga sekelas dengan Lupus. Tapi herannya, tiap hari Pepno selalu terlambat tiba di sekolah. Sampai guru-guru sudah bosan menghukumnya.
Lupus suka heran. Apa di rumahnya Pepno sulit dibangunkan kalau pagi hari? Kalau memang sulit, Lupus punya cara yang tepat untuk membangunkan anak nakal di pagi hari. Banjur saja dengan seember air dingin. Atau kalau cara itu dirasakan repot, karena akan membuat kasur basah, getok aja kepala si anak itu dengan batu bata. Wah, pasti dia akan lekas bangun.
Ah, tapi mungkin saja maminya Pepno tidak sampai hati melakukan itu. Karena Pepno memang agak disayang. Jadi mana mungkin maminya mau membangunkan dengan cara itu.
Jadi harus dicarikan cara lain. Misalnya dengan memasang jam weker tepat pukul enam pagi.
“Tapi, sebetulnya kenapa sih kamu suka terlambat?” tanya Lupus penasaran.
“Sebetulnya bukan salah saya, Pus,” ujar Pepno. “Yang salah gurunya.”
“Lho, kok gurunya?”
“Abis mereka datang terlalu cepat sih....”
Lupus bengong. Ah, masa iya?
Iya, kata Pepno. Dan Lupus tak percaya. Sama seperti tak percayanya Lupus pada cerita-cerita Pepno yang lainnya. Kalau duduk sebangku di kelas, Pepno memang suka cerita macam-macam. Tentang kucingnya yang katanya bisa menghilang, tentang kelincinya yang bisa berbicara.
Tapi Lupus tak pernah percaya.
Pagi ini pun, nampaknya Pepno mulai mau bercerita lagi.
“Pus, semalam aku ditinggal di rumah sendirian. Habis, Papi sama Mami pergi ke dokter mengantar adikku. Aku nggak takut, Pus. “
“Ah, aku tak percaya, Pep,” ujar Lupus seperti biasanya.
Pepno mulai sibuk meyakinkan. “ Aku betul-betul sendirian di rumah, Puso Hanya bibiku saja di dapur, Mang Iip di ruang tamu, Mbok Minang di serambi, dan kakekku di kamar. Aku lunya sendirian nonton tipi, Pus.... “
Lupus cekikikan.
Dan di samping Pepno, Lupus juga punya temen yang lucu. Namanya Uwi. Kata Lupus, Uwi ini mukanya kayak belalang. Panjang dan lancip. Tapi Uwi bilang, Lupus kayak marmut. Gemar merengut. Kalau sudah main ledek-ledekan begitu, Lupus dan Uwi cuma ketawa bareng.
Lupus suka Uwi, karena anak perempuan nakal ini sebenarnya cerdas. Paling asyik diajak main tebak-tebakan. Waktu ulang tahun Pepno, Uwi ngasih kado pulpen mungil satu biji yang dilapisi berlapis-lapis koran hingga kadonya kelihatan besar. Di dalamnya, ada juga batu kerikil, biar agak berat.
Pepno sampai frustasi waktu buka kado Uwi. Dikira di dalamnya ada robot-robotan, “atau pesawat tempur, nggak taunya cuma pulpen yang mungil.
Di dalam kadonya, ada sederetan kalimat ucapan ulang tahun buat Pepno, disertai kata mutiara yang lucu. “Jangan memandang keikhlasannya, tapi pandanglah. .. harganya.”
Lupus sampai terpingkal-pingkal ketika diceritai.
Ketika turun main, Lupus sering asyik belajar bersama Uwi. Biasanya jadi sembarangan, karena kedua anak itu memang ajaib. Biasanya Uwi yang membacakan dari buku, sambil memandangi buku bergambar. Sedang Lupus asyik memasukkan roti bekal Uwi ke dalam mulutnya hingga habis tak bersisa.
“Ikan bernapas dengan apanya, Pus?” ujar Dwi.
Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab, “Dengan insang.”
“Ya, betul. Kalo ular, Pus?”
“Ular? Ng... dengan kulitnya!”
“Seratus! Kalau gajah bernapas dengan...?”
“Hidungnya!”
“Salah!”
“Kupingnya!”
“Salah!”
Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa?” tanyanya sambil memandang ke arah Uwi.
“Gajah bernapas dengan... teman-temannya!” ujar Dwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi... iya, kan? Mereka selalu bergerombol. “
Lupus keki. Lalu sambil menutup kotak tempat kue Uwi yang sudah kosong, dia berkata, “Kalau kodok bernapas dengan...?”
“Dengan paru-paru!” jawab Uwi.
“Salah, Wi. Kodok bernapas dengan... izin Tuhan. Hihihi.”
Pepno pun datang meramaikan suasana.
“Bulu apa yang bisa marah?” kata Pepno.
“Bu Lurah,” jawab Dwi.
“Bulu apa yang bisa nangkis?”
“Bulu tangkis.”
“Bulu apa yang paling jelek?”
“Bulu ketek.”
“Bulu apa yang paling jauh?”
“Bulu roma... ibu kota Itali.”
“Bulu... ng, apa lagi, ya?” Pepno berpikir.
“Ini, Pep,” celetuk Lupus, “bulu apa yang mirip kamu, Pep?”
“Apa, ya?”
“Bulukan. Hihihi....”
Bel masuk pun berdentang lantang. Kelontang-kelonteng.
6. Membantu Lulu Makan
SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.
Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.
Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.
“Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!” begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.
“Sa... saya abis belajar bersama, Bu,” ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.
“Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!”
“Belajar main bola, Bu.”
“Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang.”
“Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu.”
“Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?”
“Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah....”
“Sudah. Ayo pulang!” hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.
Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.
Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.
Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.
Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.
Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.
Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.
Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.
“Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu,” ujar Ibu tersenyum.
Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.
Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.
“Lulu, kamu sudah makan, belum?”
Dengan santai Lulu menggeleng.
“Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?” desak Ibu.
“Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun,” bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.
Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.
“Ah, Lupus.... Lupus...,” desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.
7. Ke Toko
LULU besok ulang tahun. Baru yang keenam. Tapi ulu ingin hari jadinya itu dirayakan, seperti ulang tahunnya Pepno. Sebetulnya, Bapak memang kurang setuju. Karena dengan begitu, Bapak harus mencari uang tambahan untuk pesta ulang tahun Lulu. Tapi Lulu memaksa, didukung sepenuhnya oleh Lupus, yang berharap bisa makan kue tart enak lagi. Dan bagi Bapak, perang melawan dua anaknya yang bandel-bandel itu lebih mengerikan daripada perang melawan kantuk. Anak itu kompak berdemonstrasi ribut-ribut tiap sore, sehingga Bapak tak dapat lagi tenang-tenang membaca koran.
Maka, terpaksalah Bapak mengabulkan permintaan Lulu. Yah, sekali-sekali boleh dong ulang tahun itu dirayakan. Dan untuk itu, ibu Lupus mesti pergi ke toko membeli kue-kue dan kado buat Lulu.
Tiap ulang tahun, orang-orang yang berada atau datang ke rumah Lulu, selalu dimintai kado. Kalo ternyata karena sesuatu hal si orang itu tak bawa kado, maka dianggap utang. Di lain waktu, walau sudah lewat sebulan, Lulu masih rajin menagih. Makanya daripada repot-repot mendengar rengekan Lulu, Ibu lebih baik membeli kado saja.
Karena Lupus juga sejak kemarin dipaksa Lulu untuk beli kado, maka Ibu pun mengajak Lupus pergi ke toko. Tokonya cukup jauh dari rumah. Lupus, harus naik. bis kota segala. Jalan juga bisa, tapi lama. Kira-kira dua hari baru sampai. Maka itu lebih baik naik bis kota saja. Lagi pula bis kota itu murah meriah kok. Bayarnya murah dan isinya meriah. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, pokoknya macam-macam deh. Kamu tinggal pilih, mau yang mana.
Dan Lupus itu paling suka kalo diajak naik bis kota. Dia selalu pilih dekat jendela. Biar bisa melihat pemandangan dan bisa ber-dada-dada, melambaikan tangan.
Makanya Lupus langsung sibuk berdandan ketika Ibu mengajaknya pergi ke toko. Hatinya girang sekali. Sambil bersiul-siul riang, dia memakai sepatu, kemeja, dan tak lupa jam tangan mungilnya. Tapi rambutnya tak mau disisir. Biar bisa kena angin dari jendela bis kota. Kan sayang kalau disisir, jadi mubazir pikirnya.
Tapi sayang, bis yang ditumpangi Lupus itu penuh sesak. Jadinya tak bisa leluasa memilih tempat duduk di dekat jendela. Lupus menyesal, kenapa tadi tidak membawa jendela dari rumah saja, ya? Biar penuh kan bisa tetap dekat jendela. Bisa angin-anginan.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Lupus masih diliputi penyesalan. Tapi segera hilang ketika di depannya terlihat keramaian yang amat sangat. Ada anak kecil tujuh orang bergandengan tangan, ada penjual obat yang ribut menawarkan dagangannya, ada tukang rokok yang mondar-mandir ke sana kemari, atau puluhan kemeja yang tergantung, bergoyang-goyang ditiup angin. Ya, toko itu memang berada di pusat kota. Selain ada toko yang menjual kue-kue, ada juga yang menjual baju, celana, mobil-mobilan, motor-motoran, anak-anakan, ibu-ibuan, bapak-bapakan....
Ibu sambil menggandeng lengan Lupus, menuju toko yang menjual kue-kue. Tapi sebelumnya, Ibu sempat tertarik pada penjual jepit jemuran di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima itu adalah pedagang yang kakinya li... eh, dua. Tapi barang dagangannya cukup digelar begitu saja. Tanpa diselimuti. Kasihan ya, kan nanti bisa masuk angin. Kalau sudah masuk angin, baru deh si pedagang itu sibuk mengeroki barang dagangannya. Sebab walau bagaimanapun juga, barang dagangan yang sakit kan tak bisa dijual.
Nah, Ibu sekarang sedang tertarik dengan penjepit jemuran tersebut. Ibu berniat membeli beberapa buah, supaya kalau lagi menjemur pakaian, tidak perlu lagi bersibuk-sibuk-ria mengejar jemurannya. Sebab sering ada angin nakal yang bertiup kencang dan membawa terbang jemuran Ibu yang sudah kering. Pakaian memang biasa dijemur Ibu di lapangan bulu tangkis di samping rumah. Sehingga Lupus yang hobi main bulu tangkis, pernah dengan kesal berkata kepada temannya, si Pepno, “Kamu pikir, Pep, apa kegunaannya Bapak membangun lapangan bulu tangkis di halaman samping rumah?”
“Memangnya apa? Untuk main bulu tangkis, kan?”
“Bukan. Untuk Ibu menjemur kasur secara massal!”
Dan Ibu kalo membeli sesuatu tak pernah menawar. Cuma menyarankan agar barang itu dijual murah saja. Seperti dengan penjual jepit jemuran itu. Harganya seribu rupiah, tapi disarankan agar dijual tiga ratus saja. Penjualnya tak mau. Ibu pun tak mau juga. Tapi ketika disarankan lima ratus, baru ada kesepakatan. Kemudian Ibu pun membayar, setelah sebelumnya tak lupa mereka berjabatan tangan atas kesepakatan yang telah diambil.
Selanjutnya Ibu terburu-buru melanjutkan perjalanan, yaitu ke toko kue. Tapi apa yang terjadi? Ibu Lupus berpikir, sepertinya ada yang ketinggalan. Tapi apa, ya? Ibu kebingungan setengah mati. Seluruh isi tasnya diperiksa. Dompetnya ada, sapu tangan ada, sisir juga ada. Lalu di depan etalase kaca, Ibu berkaca. Diamati seluruh tubuhnya. Dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Semua komplet. Tak kurang suatu apa pun. Lantas, apa yang ketinggalan?
Seorang satpam yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Ibu, akhirnya datang menghampiri. “Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Apa Ibu kecurian?”
“Oh, selamat siang. Tidak-saya tidak kecurian. Tapi bisakah Bapak membantu saya?”
“Dengan senang hati, Bu. Nah, ada apa?”
“Saya mau tanya, Pak. Apakah ada sesuatu yang ketinggalan pada diri saya?” tanya Ibu.
Satpam itu jelas bengong. Ibu Lupus dongkol. Katanya mau membantu, masa ditanya begitu saja bengong?
Astaganaga! Ibu baru ingat. Ya, ampun, anakku. “Lupus! Lupus!” Ibu berteriak-teriak, berlari-lari. Tak peduli orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Ibu kembali ke tukang penjepit jemuran. Alhamdulillah, Lupus masih ad di situ. Ibu lupa, kalau ternyata dia itu pergi bersama anaknya tercinta. Gara-gara terlalu girang karena telah mendapat penjepit jemuran, jadi lupa menggandeng anaknya.
Ketika dilihat Lupus masih segar-bugar tak kurang suatu apa. Ibu langsung memeluknya. Menciumnya. Mirip film Indonesia. Tapi Lupus sendiri biasa-biasa saja. “Lupus cuma mau menguji, lebih berharga mana, penjepit jemuran atau Lupus,” bisik Lupus pada Ibu.
Ibu tersenyum.
Tapi, ngomong-ngomong soal penjepit jemuran, Ibu jadi ingat kembali dengan penjepit jemurannya yang ditinggalnya di muka toko kue. Wah - jangan-jangan nanti hilang?
“Lupus, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Penjepit jemuran Ibu ketinggalan!” ujar Ibu sambil bergegas kembali ke toko kue, meninggalkan Lupus yang terbengong sendirian.
Lupus cuma nyengir. Ya, ternyata dua-duanya penting. Ibu juga nggak mau dong kehilangan penjepit jemurannya!
ADA seorang teman Lupus. Namanya Pepno SH. Anaknya masih kecil. Sekecil Lupus. Badannya rada kurus. Berkulit hitam, dan berambut agak ikal. Kalau habis berlari-larian ujung hidungnya suka berkeringat. Seperti embun di pagi hari.
Lupus sering bermain-main dengan dia.
Seperti juga kamu, Lupus pertama heran. Kenapa si Pepno ini kecil-kecil sudah punya gelar SH? Nggak taunya itu nama bapaknya: Simin Harjo, yang biasa disingkat SH. Hihihi... lucu, ya?
Nah, sore tadi si Pepno berlarian datang ke arah Lupus yang tengah bersiap-siap pergi mengaji. Ia berbisik, “Pus, besok datang ke rumahku, ya? Aku ulang tahun. Eh, tapi jangan lupa bawa kado dong. Biar balik modal.“
“Ulang tahun?” Lupus bertanya heran. “Ulang tahun apa?”
Ih, Lupus norak, ya? Masa ulang tahun aja nggak tau?
Tapi kalian memang mesti maklum kalau ternyata memang ada anak yang belum tau apa itu ulang tahun. Karena di sebagian keluarga, ada. yang menganggap kalau ulang tahun itu tak perlu dirayakan. Apalagi kalau orang tuanya pelit, seperti bapaknya, si Lupus. Merayakan ulang tahun dianggap pemborosan saja, katanya. Makanya, Lupus nggak apa itu ulang tahun.
Mata Pepno yang bulat dan lucu itu menyipit.
“Ulang tahun apa? Ya ulang tahun saya.” Pepno ternyata bingung juga menjawab pertanyaan Lupus.
“Ulang tahun itu apa?” Lupus masih belum mengerti juga. “Ulang tahun itu adalah tahun yang diulang,” ujar Pepno setengah ragu. Ya, habis bagaimana dia harus menjelaskan. “Kata mama saya, setiap tanggal 21 April itu ulang tahun saya.”
“Lha? Kenapa harus tanggal 21 April?” tanya Lupus. “Tidak tanggal 10 Nopemnber atau 32 Januari saja?”
“Tau tuh. Mama sukanya tanggal 21 April sih. Gitu aja, Pus. Jangan lupa besok sore. Dadaaah. ...”
“Eh, tapi dijemput, ya?”
***
Pulang mengaji, Lupus mendapatkan ibunya sedang asyik mengobrol dengan Tante Ani, tetangga sebelah. Menjelang magrib, kala urusan rumah tangga sudah diselesaikan semua, ibu Lupus sering duduk-duduk di taman mengobrol dengan tetangga sambil minum teh. Bapak sih jarang ikutan nimbrung. Kerjaannya sepulang kantor tidur melulu.
“Dulu, anak saya si Lulu, suka sekali mengisap jempolnya, Jeng. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” ucap ibu Lupus sambil menuangkan teh buat Tante Ani. Lupus yang bandel, sempat juga menguping dari balik pohon asoka.
“O ya? Bagaimana cara mengatasinya, Jeng?”
“Mudah saja, Jeng. Jempolnya, suka saya beri yang pahit-pahit. Jamu, misalnya.”
“Lalu, setelah itu bagaimana reaksinya, Jeng?”
“Sekarang, ia mengisapi jari kelingkingnya.“
Hihihi... Lupus tak bisa menahan ketawanya. Ini jelas membuat ibu Lupus berang. “Hayo, Lupus! Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan suka mencuri dengar pembicaraan orang tua!”
Lupus keluar sambil tertawa-tawa kecil.
Dan dia segera bilang ke ibunya bahwa besok ia diundang ke. Ulang tahun Pepno.
“Ulang tahun yang keberapa?” tanya Ibu.
Wah, keberapa, ya? Lupus bingung. Soalnya dia tak tanya tadi. “Eeeng... suit sepentin kali, Bu!”
Ah, Masa sweet seventeen? Ibunya tak percaya. Ibunya berkata, kalau tak salah Pepno lahir berbarengan dengan pohon pisang yang ditanam Bapak di kebun belakang.
“Wah, jadi si Pepno udah tua dong, Bu,” ujar Lupus heran. Ya, karena pohon pisang yang dimaksud Ibu itu sudah reot. Pelepah pisangnya sudah berwarna cokelat. Disentil juga roboh.
“Pepno lain dong dengan pohon pisang. Pohon pisang memang cepat besar dan tua. Tapi Pepno kan tidak,” jelas ibunya.
“Oo... mungkin karena Pepno jarang disiram dan diberi pupuk ya, Bu?” simpul Lupus.
Yah, mungkin sekarang Pepno umurnya sama dengan Lupus. Tujuh tahun. Sekarang, Lupus pun mengira-ngira, kado apa yang cocok buat Pepno.
“Eh, gimana, Bu, kalo beli buku tulis saja buat kadonya Pepno?” usul Lupus.
“Ah, jangan. itu terlalu murah. Lebih baik potlot aja!”
Tapi ternyata Pepno tidak cuma mengundang Lupus. Lulu pun sudah diberi tahu. Pepno juga berpesan agar Lulu membawa kado.
Lulu mengusulkan agar Pepno diberi boneka saja.
Lupus jelas menolak. “Pepno kan anak laki-laki. Masa mau dia diberi boneka?”
“Kalo dia nggak mau, kan bica buat Lulu aja. “
Pertengkaran Lupus dan Lulu sebetulnya bakalan seru. Tapi Ibu buru-buru melerai. Ibu cuma mau membelikan satu kado saja. Dan akhirnya diputuskan, Pepno akan dibelikan pistol-pistolan air saja
***
Sorenya pistol-pistolan air yang cukup unik itu siap dibungkus. Sebelum dilapisi kertas kado yang cantik, Ibu membungkusnya dengan beberapa kertas koran.
“Kenapa mesti begitu, Bu?” tanya Lupus.
“Biar kelihatan besar. Nanti kan Pepnonya senang.”
Pistol-pistolan air itu memang jadi kelihatan besar sekarang. Apalagi setelah dibungkus kertas kado yang bermotifkan warna-warni. Jadi kelihatan tambah cantik. Wah, si Pepno pasti senang.
Tapi, astaga! Pistol-pistolan ini belum dicoba. Lupus cemas. Ya, bagaimana kalau ternyata pistol-pistolan air ini macet? Bisa malu dong. Kok ngasih hadiah nggak bisa dipakai?
Maka diam-diam Lupus pun membuka kado yang udah terbungkus rapi itu. Gulungan koran yang membuatnya gemuk, kini berserakan di lantai. Lupus tak peduli. Yang penting pistol ini mesti dicoba dulu.
Setelah dibuka, pistol air itu diisi air. Dan ditembakkan ke arah pot-pot bunga. Kadang-kadang, rambutnya pun dibasahi oleh pistol-pistolannya itu. Lupus senang, berarti pistol mainan ini tidak macet.
Lagi asyik-ayiknya mencoba, Ibu datang. Ibu habis membeli pita. Untuk kado dan untuk rambutnya Lulu. Biar kedua-duanya cantik.
Jelas saja Ibu ngomel melihat ulah Lupus.
“Aduh, Lupus. Kenapa kadonya dibuka begitu?”
“Habis tadi belum dicoba, Bu. Lupus khawatir kalo pistol-pistolan ini macet.”
Ibu akhirnya membungkus kado itu lagi. Cuma kali ini ditambahi pita biar cantik.
Kado ini ternyata tidak mau kalah saingan sama rambut Lulu yang senantiasa berpita. Lupus pun ikut-ikutan meminta dipakaikan pita. Tapi Ibu melarang. Lupus nekat. Ia mengambil kaset dan mengeluarkan pitanya yang panjang. Kemudian digulungkan ke rambutnya. Lupus ternyata juga tak mau kalah saingan.
“Hihihi... pitaku lebih panjang!”
***
Sore itu di rumah Pepno sudah ramai. Banyak juga temannya yang datang. Pepno memang mengundang semua teman-teman mainnya.
Rumahnya sendiri tampak semarak. Dihiasi balon-balon, kel tas Warna-warni, dan juga kue tart besar berlilin tujuh yang begitu menarik perhatian Lupus.
Pepno memakai baju baru. Warnanya merah, dan dimasukkan ke dalam celana panjangnya yang juga baru. Pepno jadi kelihatan ganteng. Kayak sekoteng.
Tapi perhatian Lupus tetap tak lepas dari kue tart besar yang dilapisi cokelat itu. Oi, pasti enak sekali rasanya. Lebih enak dari kue bikinan Ibu. Ah, mudah-mudahan saja kue itu tidak hanya sekadar buat pajangan.
Selanjutnya acara dibuka dengan nyanyi-nyanyi bersama. Sambil bertepuk tangan meriah. Kadang anak-anak bernyanyi saling adu cepat. Mungkin dengan harapan yang duluan selesai nyanyi bakal segera mendapat potongan kue tartt.
Kemudian disusul dengan acara-acara menarik. Di antaranya seperti mengoper gelas yang diisi air, sambil diiringi musik. Bila gelas itu berada di t1ngan seorang anak dan bersamaan dengan matinya musik, berarti anak tadi mendapat hukuman. Boleh nyanyi, boleh baca puisi. Boleh juga berjoget sepuas hati.
Mereka kelihatan suka dengan permainan itu. Kecuali Lupus Ia cuma berharap agar jadwal pemotongan kue tart itu dipercepat saja. Rasanya lezatnya kue itu sudah sampai di lidah saja. Oi, pasti enak sekali. Lupus sama sekali tidak memperhatikan permainan oper-mengoper gelas. Maka ketika ia mendapat gelas berisi air yang semestinya diserahkan ke teman di sebelah, Lupus malah meminum airnya.
Anak-anak pada terheran-heran.
Lupus pun terpaksa dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.
Tanpa ragu, Lupus pun membacakan puisi karyanya sendiri,
“di laut sudah pasti ada iar
di air belum tentu ada laut
di rumah sudah pasti ada pintu
di pintu belum tentu ada rumah
di meja sudah pasti ada sepotong kue
dan kuenya belum tentu dipotong...”
Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus pun tiba, Pepno memolong, kue tart jadi beberapa bagian. Potongan pertama untuk maminya, kedua untuk papinya, ketiga untuk adiknya, keempat untuk kakaknya, kelima untuk neneknya, keenam untuk kakeknya....
“Lha, untuk saya mana, ya?” pikir Lupus cemas.
Lupus khawatir kalau-kalau kue itu memang buat keluarga Pepno saja. Wah, bisa gawat nih! Lupus sebel, kenapa tuan rumah kadang cuma menyediakan kue yang mahal-mahal untuk pajangan aja? Bukan untuk dibagikan pada tamunya.
Tapi ternyata dugaan Lupus meleset. Kue tart itu juga dibagikan kepada teman-teman yang lain. Tentu termasuk Lupus. Lupus mendapat bagian yang lebih besar. Karena baca puisinya bagus. Lupus sangat girang sekali. Dia memakan sedikit demi sedikit. “Biar enaknya lama.”
Tapi kapan ya, bisa makan kue enak lagi? Lupus pun merenungi. Hingga kemudian dia bangkit menghampiri maminya Pepno dan membisiki, “Tante, bagaimana kalo ulang tahunnya Pepno tiap seminggu sekali aja, Tante?”
5 Ke Sekolah
PAGI-PAGI sekali Lupus sudah bangun. Maklum, kalau tidak bangun pagi-pagi, dia bisa terlambat pergi ke sekolah. Dan kalau sampai terlambat ke sekolah, Lupus bisa kena setrap. Kalau sampai kena setrap, Lupus bisa disuruh berdiri di pojokan kelas sepanjang pagi. Kalau sampai disuruh berdiri di pojokan kelas, Lupus bisa malu. Kalau sampai malu... ah, makanya, Lupus lebih baik tidak terlambat ke sekolah.
Tapi sebetulnya, Lupus masih suka dibangunkan ibunya daripada bangun sendiri. Pernah sesekali Lupus berpesan pada ibunya agar jangan dibangunkan. Akibatnya Lupus baru bangun ketika jam dinding di rumahnya berdentang sembilan kali. Makanya Lupus hingga sekarang lebih suka dibangunkan saja. Lupus sendiri heran, kenapa dia susah bangun pagi. Padahal menurutnya, dia tidak pernah tidur terlalu larut. Paling-paling jam sembilan dia sudah masuk kamar. Cuma, ya di kamar dia suka keasyikan baca buku cerita hingga larut malam.
Kegiatan Lupus setiap pagi selain bangun tidur, biasanya ngulet-ngulet sedikit. Tau ngulet, kan? itu lho, senam gaya ulet. Ya, habis senamnya kan di tempat tidur. Lupus kadang juga suka lari pagi. Berkeliling-keliling kompleks perumahan sebanyak satu kali. Larinya kadang-kadang pelan, kadang-kadang cepat Lupus suka lari cepat kalau kebetulan dikejar sama anjing tetangga yang galak. Setelah lari pagi, biasanya Lupus mandi. Tak lupa sikat gigi, kalau kebetulan ditunggui Ibu. Habis itu handukan. Yah, terpaksa handukan ini diharuskan jadi kebiasaan. Karena Lupus setelah mandi suka lupa handukan. Masih basah kuyup, langsung pakai baju seragam. Kan jadi basah semua, ya, bajunya. Setelah urusan mandi selesai, Lupus sarapan. Untuk sarapan ini tak biasa makan nasi. Tapi cukup lontong sayur saja. Tapi kadang-kadang, dia juga makan roti.
Sehabis makan roti, biasanya masih ada sedikit waktu untuk sekadar mengobrol dengan adiknya Lulu, atau dengan ibunya yang sedang mengolesi roti buat Bapak di meja makan.
“Bu, semalam Lupus mimpi dikejar-kejar raksasa. Uh, tegang deh. Lupus lari sekuat-kuatnya,” celoteh Lupus seru.
Ibunya memandang sebentar. Lalu dengan pelan berujar, “O, pantas kasurmu basah semua. Mungkin itu cucuran keringatmu, ya, Pus,” sindir ibunya menahan tawa.
Lulu sudah cekikikan saja di ujung meja. Ih, ketauan. Lupus pasti ngompol. Lupus memang paling bisa berdalih kalau dia ketauan ngompol. .
Tapi Lupus pura-pura tak mendengar sindiran ibunya. Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Eh, tapi kemarin Lupus di sekolah dapat hapusan potlot. Bagus deh, Bu. Bentuknya seperti mobil-mobilan. Wangi lagi....”
“Ah, kamu dapat nyuri, ya?” sergah ibunya ketika Lupus menunjukkan penghapus barunya.
“Enggak, Bu.”
“Kamu dapat dari mana?”
“Dapat nemu di tempat pinsilnya Pepno yang sedang terbuka, Bu. Bagus, ya?”
Dan Lupus pun langsung melompat turun dari kursinya ketika ada suara teman memanggil.
“Lupus berangkat, Bu, Pak. Sampai ketemu nanti siang, ya?”
“Lupuuuus, penghapus itu...”
Ibunya berusaha menahan, tapi Lupus sudah berlarian menyambut teman-temannya.
***
Si Pepno, teman Lupus yang baru berulang tahun itu, kebetulan juga sekelas dengan Lupus. Tapi herannya, tiap hari Pepno selalu terlambat tiba di sekolah. Sampai guru-guru sudah bosan menghukumnya.
Lupus suka heran. Apa di rumahnya Pepno sulit dibangunkan kalau pagi hari? Kalau memang sulit, Lupus punya cara yang tepat untuk membangunkan anak nakal di pagi hari. Banjur saja dengan seember air dingin. Atau kalau cara itu dirasakan repot, karena akan membuat kasur basah, getok aja kepala si anak itu dengan batu bata. Wah, pasti dia akan lekas bangun.
Ah, tapi mungkin saja maminya Pepno tidak sampai hati melakukan itu. Karena Pepno memang agak disayang. Jadi mana mungkin maminya mau membangunkan dengan cara itu.
Jadi harus dicarikan cara lain. Misalnya dengan memasang jam weker tepat pukul enam pagi.
“Tapi, sebetulnya kenapa sih kamu suka terlambat?” tanya Lupus penasaran.
“Sebetulnya bukan salah saya, Pus,” ujar Pepno. “Yang salah gurunya.”
“Lho, kok gurunya?”
“Abis mereka datang terlalu cepat sih....”
Lupus bengong. Ah, masa iya?
Iya, kata Pepno. Dan Lupus tak percaya. Sama seperti tak percayanya Lupus pada cerita-cerita Pepno yang lainnya. Kalau duduk sebangku di kelas, Pepno memang suka cerita macam-macam. Tentang kucingnya yang katanya bisa menghilang, tentang kelincinya yang bisa berbicara.
Tapi Lupus tak pernah percaya.
Pagi ini pun, nampaknya Pepno mulai mau bercerita lagi.
“Pus, semalam aku ditinggal di rumah sendirian. Habis, Papi sama Mami pergi ke dokter mengantar adikku. Aku nggak takut, Pus. “
“Ah, aku tak percaya, Pep,” ujar Lupus seperti biasanya.
Pepno mulai sibuk meyakinkan. “ Aku betul-betul sendirian di rumah, Puso Hanya bibiku saja di dapur, Mang Iip di ruang tamu, Mbok Minang di serambi, dan kakekku di kamar. Aku lunya sendirian nonton tipi, Pus.... “
Lupus cekikikan.
Dan di samping Pepno, Lupus juga punya temen yang lucu. Namanya Uwi. Kata Lupus, Uwi ini mukanya kayak belalang. Panjang dan lancip. Tapi Uwi bilang, Lupus kayak marmut. Gemar merengut. Kalau sudah main ledek-ledekan begitu, Lupus dan Uwi cuma ketawa bareng.
Lupus suka Uwi, karena anak perempuan nakal ini sebenarnya cerdas. Paling asyik diajak main tebak-tebakan. Waktu ulang tahun Pepno, Uwi ngasih kado pulpen mungil satu biji yang dilapisi berlapis-lapis koran hingga kadonya kelihatan besar. Di dalamnya, ada juga batu kerikil, biar agak berat.
Pepno sampai frustasi waktu buka kado Uwi. Dikira di dalamnya ada robot-robotan, “atau pesawat tempur, nggak taunya cuma pulpen yang mungil.
Di dalam kadonya, ada sederetan kalimat ucapan ulang tahun buat Pepno, disertai kata mutiara yang lucu. “Jangan memandang keikhlasannya, tapi pandanglah. .. harganya.”
Lupus sampai terpingkal-pingkal ketika diceritai.
Ketika turun main, Lupus sering asyik belajar bersama Uwi. Biasanya jadi sembarangan, karena kedua anak itu memang ajaib. Biasanya Uwi yang membacakan dari buku, sambil memandangi buku bergambar. Sedang Lupus asyik memasukkan roti bekal Uwi ke dalam mulutnya hingga habis tak bersisa.
“Ikan bernapas dengan apanya, Pus?” ujar Dwi.
Lupus berpikir sejenak. Lalu sambil mengunyah roti, dia menjawab, “Dengan insang.”
“Ya, betul. Kalo ular, Pus?”
“Ular? Ng... dengan kulitnya!”
“Seratus! Kalau gajah bernapas dengan...?”
“Hidungnya!”
“Salah!”
“Kupingnya!”
“Salah!”
Lupus menelan potongan roti yang terakhir. “Jadi dengan apa?” tanyanya sambil memandang ke arah Uwi.
“Gajah bernapas dengan... teman-temannya!” ujar Dwi sambil menyembunyikan mukanya menahan tawa di balik buku bergambar. “Hihihi... iya, kan? Mereka selalu bergerombol. “
Lupus keki. Lalu sambil menutup kotak tempat kue Uwi yang sudah kosong, dia berkata, “Kalau kodok bernapas dengan...?”
“Dengan paru-paru!” jawab Uwi.
“Salah, Wi. Kodok bernapas dengan... izin Tuhan. Hihihi.”
Pepno pun datang meramaikan suasana.
“Bulu apa yang bisa marah?” kata Pepno.
“Bu Lurah,” jawab Dwi.
“Bulu apa yang bisa nangkis?”
“Bulu tangkis.”
“Bulu apa yang paling jelek?”
“Bulu ketek.”
“Bulu apa yang paling jauh?”
“Bulu roma... ibu kota Itali.”
“Bulu... ng, apa lagi, ya?” Pepno berpikir.
“Ini, Pep,” celetuk Lupus, “bulu apa yang mirip kamu, Pep?”
“Apa, ya?”
“Bulukan. Hihihi....”
Bel masuk pun berdentang lantang. Kelontang-kelonteng.
6. Membantu Lulu Makan
SETIAP pulang sekolah, Lupus masih sering dijemput. Sebetulnya letak sekolah Lupus tak begitu jauh dari rumah Lupus. Hanya beberapa kali napas, sudah sampai Tapi kalau tak dijemput, Lupus bisa petang hari baru sampai rumah. Alasannya belajar bersama atau bersama-sama nonton video.
Seperti pada hari, ibu Lupus sedang kelewat repot hingga tak sempat menjemput. Ditunggu-tunggu anak bandel itu belum juga kelihatan batang hidungnya. Ibu Lupus jelas bingung. Sibuk nyari-nyari di tong sampah, di kandang ayam tetangga, di atas pohon jambu, tak juga ketemu. Pergi ke mana lagi anak ini? pikir ibu Lupus bingung. Baru ketika ibu Lupus hendak mencari dan bertanya pada teman sekolah Lupus yang dekat tukang gado-gado, tiba-tiba Lupus kelihatan sambil berjalan terseok-seok. Baju seragamnya sudah tak lagi putih warnanya. Ada bercak-bercak cokelat, kayak lumpur. Sepatunya juga. Uh, ibu Lupus pun hampir lupa pada warna asli tu sepatu. Sebab kini sampai ke kaus kaki, berwarna cokelat semua. Wah, pasti Lupus habis main di comberan.
Memang betul. Meski tidak di comberan, Lupus habis berkotor-kotoran. Dia habis main bola di lapangan dekat kali yang tiap habis hujan selalu berkubang. Sebetulnya memang sudah tak pantas bila disebut lapangan. Tapi kalau mau disebut kolam renang, tak ada yang jaga karcis di sana. Meski begitu, Lupus dan teman-temannya sangat senang bermain bola di lapangan itu. Malah bila suatu ketika lapangan itu kering saat musim kemarau, Lupus tak mau main. Alasannya nggak seru. Nggak bisa ber-ski air.
“Lupus, dari mana saja kamu! Lihat, tubuhmu penuh lumpur!” begitu ibu Lupus selalu menghardik, jika Lupus berbuat salah.
“Sa... saya abis belajar bersama, Bu,” ujar Lupus sambil menundukkan kepala. Tas sekolahnya yang juga dekil, didekap erat-erat, seolah takut ketauan.
“Belajar apa sampai kotor-kotoran begitu!”
“Belajar main bola, Bu.”
“Main bola? Ya, tapi kan main bola tak perlu di lumpur. Lagi pula kamu belum ganti baju, belum makan siang, belum tidur siang.”
“Saya main bola nggak di lumpur kok, Bu.”
“Lha, itu. Kenapa bajumu penuh lumpur?”
“Bukan salah saya, Bu. Salah lumpurnya. Kenapa dia berada di lapangan bola. Seharusnya dia berada di sawah....”
“Sudah. Ayo pulang!” hardik ibunya sambil menggamit lengan Lupus.
Itulah, makanya ibu Lupus lebih suka meluangkan waktu untuk menjemput Lupus, daripada mengkhawatirkan anak itu selalu. Dan seperti anak-anak lainnya juga, sampai di rumah Lupus dan Lulu setiap pulang sekolah pasti disuruh menukar pakaian seragam. Tapi, sekali lagi. Lupus selalu tak mau. Dia bilang dia mau mengulang pelajaran dulu. Kalo belajar, mesti memakai baju seragam. Tidak enak belajar pakai baju rumah. Tak sopan, ujar Lupus. Biar malam hari pun bila ingin mengerjakan pekerjaan rumah, Lupus senantiasa memakai seragam sekolahnya.
Menghadapi anak macam Lupus memang mesti sabar. Begitu juga dengan ibu Lupus. Kadang dibiarkan keinginan Lupus yang aneh-aneh sejauh hal itu terasa tak merugikan perkembangannya. Toh biar suka aneh-aneh, Lupus pun punya kebiasaan yang baik juga. Misalnya saja dalam hal makan. Dia paling gampang disuruh makan, tidak seperti anak lainnya. Walau badan Lupus kecil, namun nafsu makannya lumayan gede. Jadinya nggak penyakitan. Riang selalu.
Pulang sekolah, Lupus selalu makan (kalau kebetulan tidak main bola). Agak siang sedikit, makan. Sore hari, makan juga. Malamnya sebelum bikin pe-er, makan lagi. Kalau ngantuk kepengen tidur, sebelumnya mesti makan. Kalo yang ini nggak mesti nasi, lontong pun Lupus mau. Akibatnya, bapak Lupus yang suka keasyikan baca koran, tak kebagian makan malam lagi.
Tapi si Lulu justru agak sedikit susah bila disuruh makan. Seperti siang itu, sepulang sekolah. Lupus sudah selesai makan, tapi Lulu kelihatan seperti malas untuk menyentuh nasi perkedelnya. Malahan asyik bermain dengan boneka pandanya. Kalo ada Ibu, Lulu lebih suka disuapi. Tapi kini Ibu sedang kedatangan tamu. Penting agaknya. Terpaksalah Lulu disuruh makan sendiri.
Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa susahnya sih? pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru, orang hidup mesti tolong-menolong. Dengan begitu, lebih mudah untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu. Otak Lupus berpikir cepat. Lalu dia pun mulai membantu Lulu. Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya. Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus terus asyik. Ia terus menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa.
Karena kenyang, Lupus pun tidur-tiduran di kolong meja Wajahnya ditutupi buku cerita. Dan lama-kelamaan Lupus jadi tidur beneran. Sebab perutnya benar-benar kegendutan.
Ibu Lupus melihat piring Lulu kosong, jadi senang. Tapi sekaligus heran. Kok tumben Lulu bisa habis makan sendiri.
“Lulu, kamu makan sendiri, ya? Pintar kamu, Lu,” ujar Ibu tersenyum.
Lulu acuh tak acuh saja. Dia malah sibuk membelai bonekanya. Kini boneka jadi anak-anaknya, dan Lulu jadi ibunya. Lulu berusaha menidurkan anaknya sambil berdendang kecil.
Rasa penasaran masih menyelimuti benak Ibu. Kemudian sekadar memenuhi rasa curiganya, ia pegang perut Lulu. Lho, kok masih kosong kempes.
“Lulu, kamu sudah makan, belum?”
Dengan santai Lulu menggeleng.
“Lalu, siapa yang menghabiskan nasimu?” desak Ibu.
“Ssst... Ibu jangan libut, ya. Nanti anak Lulu bangun,” bisik Lulu sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Tapi ibu Lupus seperti sudah menemukan jawaban atas misteri ini, ketika melihat Lupus dengan santainya tidur di kolong meja. Di sekitar mulutnya, masih ada nasi yang tersisa. Buku cerita yang tadi menutupi wajah, terjatuh ke samping.
Ibu Lupus tersenyum, sambil membersihkan sisa nasi dan perkedel yang mengotori baju Lupus. Dipandangnya wajah Lupus lama-lama. Anak itu seperti tersenyum membalas.
“Ah, Lupus.... Lupus...,” desah ibu Lupus panjang. Kemudian bergegas menyiapkan makan siang buat Bapak.
7. Ke Toko
LULU besok ulang tahun. Baru yang keenam. Tapi ulu ingin hari jadinya itu dirayakan, seperti ulang tahunnya Pepno. Sebetulnya, Bapak memang kurang setuju. Karena dengan begitu, Bapak harus mencari uang tambahan untuk pesta ulang tahun Lulu. Tapi Lulu memaksa, didukung sepenuhnya oleh Lupus, yang berharap bisa makan kue tart enak lagi. Dan bagi Bapak, perang melawan dua anaknya yang bandel-bandel itu lebih mengerikan daripada perang melawan kantuk. Anak itu kompak berdemonstrasi ribut-ribut tiap sore, sehingga Bapak tak dapat lagi tenang-tenang membaca koran.
Maka, terpaksalah Bapak mengabulkan permintaan Lulu. Yah, sekali-sekali boleh dong ulang tahun itu dirayakan. Dan untuk itu, ibu Lupus mesti pergi ke toko membeli kue-kue dan kado buat Lulu.
Tiap ulang tahun, orang-orang yang berada atau datang ke rumah Lulu, selalu dimintai kado. Kalo ternyata karena sesuatu hal si orang itu tak bawa kado, maka dianggap utang. Di lain waktu, walau sudah lewat sebulan, Lulu masih rajin menagih. Makanya daripada repot-repot mendengar rengekan Lulu, Ibu lebih baik membeli kado saja.
Karena Lupus juga sejak kemarin dipaksa Lulu untuk beli kado, maka Ibu pun mengajak Lupus pergi ke toko. Tokonya cukup jauh dari rumah. Lupus, harus naik. bis kota segala. Jalan juga bisa, tapi lama. Kira-kira dua hari baru sampai. Maka itu lebih baik naik bis kota saja. Lagi pula bis kota itu murah meriah kok. Bayarnya murah dan isinya meriah. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek, nenek-nenek, pokoknya macam-macam deh. Kamu tinggal pilih, mau yang mana.
Dan Lupus itu paling suka kalo diajak naik bis kota. Dia selalu pilih dekat jendela. Biar bisa melihat pemandangan dan bisa ber-dada-dada, melambaikan tangan.
Makanya Lupus langsung sibuk berdandan ketika Ibu mengajaknya pergi ke toko. Hatinya girang sekali. Sambil bersiul-siul riang, dia memakai sepatu, kemeja, dan tak lupa jam tangan mungilnya. Tapi rambutnya tak mau disisir. Biar bisa kena angin dari jendela bis kota. Kan sayang kalau disisir, jadi mubazir pikirnya.
Tapi sayang, bis yang ditumpangi Lupus itu penuh sesak. Jadinya tak bisa leluasa memilih tempat duduk di dekat jendela. Lupus menyesal, kenapa tadi tidak membawa jendela dari rumah saja, ya? Biar penuh kan bisa tetap dekat jendela. Bisa angin-anginan.
Tak lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Lupus masih diliputi penyesalan. Tapi segera hilang ketika di depannya terlihat keramaian yang amat sangat. Ada anak kecil tujuh orang bergandengan tangan, ada penjual obat yang ribut menawarkan dagangannya, ada tukang rokok yang mondar-mandir ke sana kemari, atau puluhan kemeja yang tergantung, bergoyang-goyang ditiup angin. Ya, toko itu memang berada di pusat kota. Selain ada toko yang menjual kue-kue, ada juga yang menjual baju, celana, mobil-mobilan, motor-motoran, anak-anakan, ibu-ibuan, bapak-bapakan....
Ibu sambil menggandeng lengan Lupus, menuju toko yang menjual kue-kue. Tapi sebelumnya, Ibu sempat tertarik pada penjual jepit jemuran di pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima itu adalah pedagang yang kakinya li... eh, dua. Tapi barang dagangannya cukup digelar begitu saja. Tanpa diselimuti. Kasihan ya, kan nanti bisa masuk angin. Kalau sudah masuk angin, baru deh si pedagang itu sibuk mengeroki barang dagangannya. Sebab walau bagaimanapun juga, barang dagangan yang sakit kan tak bisa dijual.
Nah, Ibu sekarang sedang tertarik dengan penjepit jemuran tersebut. Ibu berniat membeli beberapa buah, supaya kalau lagi menjemur pakaian, tidak perlu lagi bersibuk-sibuk-ria mengejar jemurannya. Sebab sering ada angin nakal yang bertiup kencang dan membawa terbang jemuran Ibu yang sudah kering. Pakaian memang biasa dijemur Ibu di lapangan bulu tangkis di samping rumah. Sehingga Lupus yang hobi main bulu tangkis, pernah dengan kesal berkata kepada temannya, si Pepno, “Kamu pikir, Pep, apa kegunaannya Bapak membangun lapangan bulu tangkis di halaman samping rumah?”
“Memangnya apa? Untuk main bulu tangkis, kan?”
“Bukan. Untuk Ibu menjemur kasur secara massal!”
Dan Ibu kalo membeli sesuatu tak pernah menawar. Cuma menyarankan agar barang itu dijual murah saja. Seperti dengan penjual jepit jemuran itu. Harganya seribu rupiah, tapi disarankan agar dijual tiga ratus saja. Penjualnya tak mau. Ibu pun tak mau juga. Tapi ketika disarankan lima ratus, baru ada kesepakatan. Kemudian Ibu pun membayar, setelah sebelumnya tak lupa mereka berjabatan tangan atas kesepakatan yang telah diambil.
Selanjutnya Ibu terburu-buru melanjutkan perjalanan, yaitu ke toko kue. Tapi apa yang terjadi? Ibu Lupus berpikir, sepertinya ada yang ketinggalan. Tapi apa, ya? Ibu kebingungan setengah mati. Seluruh isi tasnya diperiksa. Dompetnya ada, sapu tangan ada, sisir juga ada. Lalu di depan etalase kaca, Ibu berkaca. Diamati seluruh tubuhnya. Dari ujung sepatu sampai ujung rambut. Semua komplet. Tak kurang suatu apa pun. Lantas, apa yang ketinggalan?
Seorang satpam yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Ibu, akhirnya datang menghampiri. “Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu? Apa Ibu kecurian?”
“Oh, selamat siang. Tidak-saya tidak kecurian. Tapi bisakah Bapak membantu saya?”
“Dengan senang hati, Bu. Nah, ada apa?”
“Saya mau tanya, Pak. Apakah ada sesuatu yang ketinggalan pada diri saya?” tanya Ibu.
Satpam itu jelas bengong. Ibu Lupus dongkol. Katanya mau membantu, masa ditanya begitu saja bengong?
Astaganaga! Ibu baru ingat. Ya, ampun, anakku. “Lupus! Lupus!” Ibu berteriak-teriak, berlari-lari. Tak peduli orang-orang yang memandang heran ke arahnya. Ibu kembali ke tukang penjepit jemuran. Alhamdulillah, Lupus masih ad di situ. Ibu lupa, kalau ternyata dia itu pergi bersama anaknya tercinta. Gara-gara terlalu girang karena telah mendapat penjepit jemuran, jadi lupa menggandeng anaknya.
Ketika dilihat Lupus masih segar-bugar tak kurang suatu apa. Ibu langsung memeluknya. Menciumnya. Mirip film Indonesia. Tapi Lupus sendiri biasa-biasa saja. “Lupus cuma mau menguji, lebih berharga mana, penjepit jemuran atau Lupus,” bisik Lupus pada Ibu.
Ibu tersenyum.
Tapi, ngomong-ngomong soal penjepit jemuran, Ibu jadi ingat kembali dengan penjepit jemurannya yang ditinggalnya di muka toko kue. Wah - jangan-jangan nanti hilang?
“Lupus, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Penjepit jemuran Ibu ketinggalan!” ujar Ibu sambil bergegas kembali ke toko kue, meninggalkan Lupus yang terbengong sendirian.
Lupus cuma nyengir. Ya, ternyata dua-duanya penting. Ibu juga nggak mau dong kehilangan penjepit jemurannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar